"Closing my eyes, I pray to the sky,
Hoping that this pinch represents chance."
(Black + White by Iori Nomizu)
.
.
Tidak jauh berbeda, pikiran Aifa juga berkecamuk. Kakinya terus melangkah mengikuti jalur yang selalu dilewatinya setiap hari, namun fokusnya melayang kesana kemari. Ia sebenarnya tidak ingin pergi ke pertemuan rutin, tapi menghindar justru akan menimbulkan lebih banyak pertanyaan. Susah payah ia menjaga raut muka. Sekarang, ia hanya ingin menghempaskan tubuh di atas kasur dan lari ke dunia mimpi.
Sayangnya, angan itu langsung terputus begitu ia mendapati sosok tinggi yang bersandar di dinding laboratorium di hadapannya, menatap lurus ke arahnya. Aifa refleks memperhatikan sekeliling. Gerbang sekolah sudah dekat, tapi mengingat tempat mereka berada sekarang adalah jalan pintas kecil yang dipenuhi pohon-pohon rimbun dan bayangan gelap, tidak ada orang lain di sekitar.
Saat Aifa sedang mempertimbangkan tindakan selanjutnya, cowok itu membuka suara. Sepertinya ia sadar Aifa tidak berniat untuk lanjut jalan mendekat.
"Halo Aifa,"
Aifa memasang muka tenang, meskipun jantungnya berdentum, "Ya. Siapa ya?" ujarnya. Tangannya yang gemetaran merogoh saku rok.
"Oh, kita belum pernah kenalan ya," Cowok berambut pirang itu mengulurkan tangan, mengembangkan senyum yang anehnya terasa familiar, "Gue Zefan. Ketua Divisi Seni,"
Melihat Aifa tidak menyambut uluran tangannya, Zefan hanya mengangkat bahu, menyimpan tangannya dalam saku kembali.
"Walau belum pernah ketemu, gue yakin lo tau gue, kan? Paling enggak, dari Shafira atau... Arvi,"
Penekanan pada nama terakhir itu membuat Aifa bergidik. Ia mengatupkan bibir rapat-rapat, berusaha tenang. Ia harus memperpanjang pembicaraan.
"Ada perlu apa denganku? Semenjak sabotasemu di P&B, aku gak punya kesan baik tentang kamu,"
Pancingan itu membuat Zefan mengerjap, kemudian terkikik geli, "Wajar aja kan? Temen dari musuh gue otomatis juga musuh gue,"
"Terus kenapa menghadangku kayak gini? Aku cuma rekan kerja Arvi,"
Zefan menyeringai, tampak meremehkan, "Lo bodoh atau gimana? Udah jelas Arvi itu suka sama lo,"
Aifa merapatkan bibir, "Terus, kamu mau nyerang aku buat ngehancurin dia?"
"Emang situasi ini gak keliatan kayak gitu?" Seolah ingin membuktikan ucapannya, Zefan maju selangkah.
Otomatis kaki Aifa bergerak mundur. Melihat situasi yang makin gawat, gadis itu mempertimbangkan untuk lari. Hanya saja, punggungnya menghantam dinding. Aifa sontak mengumpat. Tapi terlambat, Zefan sudah berdiri dihadapannya. Walau tinggi mereka tidak jauh berbeda, tatapan dingin Zefan sudah cukup untuk membuat kakinya membeku, tertancap di lantai. Perlahan, cowok itu mendekatkan wajahnya.
Menghadapi perkembangan tidak terduga ini, Aifa membiarkan instingnya mengambil alih. Ia reflek membenturkan keningnya dengan Zefan sekeras mungkin, menghasilkan umpatan dan desis perih dari kedua belah pihak. Tidak membuang waktu, Aifa memaksa kakinya untuk berlari secepat mungkin, mengabaikan kepalanya yang berdenyut dan penglihatannya yang mengabur. Jantungnya masih berdentam kencang, pikirannya kacau-balau. Meski begitu, ia tahu apa yang harus dilakukannya.
Kabur sejauh mungkin.
.
.
"Brengsek. Sakit bener," desis Zefan, mengusap keningnya yang mulai memerah. Dari balik bayangan pepohonan, David berlari mendekat.
"Lo gak papa?"
Tidak memedulikan pertanyaan itu, Zefan menyergah, "Fotonya?"
David mengangguk, menyerahkan ponsel yang digenggamnya, "Udah gue ambil,"
Setelah memeriksa foto yang dimaksud, Zefan menyeringai. Waktunya telah tiba.
Bagaimana reaksi cowok sok itu nanti?
Ia sudah tidak sabar untuk melihatnya.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/285659234-288-k289430.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Librarian Mission
Roman pour Adolescents"Bergabung dengan tim perpus?" "Ya, dan ini bukan permintaan, tapi kesepakatan. Win-win solution untuk kita berdua." SMA Kultura adalah salah satu SMA swasta populer di Indonesia karena program-programnya yang menarik dan inisiatif baru yang berbeda...