Seorang laki-laki melangkah menuruni anak tangga dengan tatapan datar. Begitu sampai di ruang makan, tatapan datar tadi berganti menjadi tatapan dingin yang terus menyorot seorang pria yang duduk di kursi paling ujung di meja makan.
Langkahnya terhenti di kursi yang berhadapan dengan seorang wanita paruh baya. Laki-laki itu lantas mendudukkan tubuhnya di sana dan langsung menikmati makan malam, tak menghiraukan dua orang lainnya yang juga berada di sana.
Batinnya terus menebak hal apa yang akan disampaikan padanya kali ini oleh pria di ujung meja. Entah kabar baik atau buruk, tapi dirinya sudah bisa memastikan jika ini bukanlah hal yang baik. Karena hampir tidak pernah ada kabar baik yang disampaikan untuknya ketika ia diajak makan malam bersama seperti ini.
Suasana meja makan masih hening. Hanya terdengar suara denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring masing-masing. Memenuhi ruangan yang senyap tanpa suara dari ketiga orang yang duduk di sana.
"Persiapkan diri kamu. Satu minggu dari sekarang kamu harus menikah dengan perempuan pilihan Papa."
Suara pria yang duduk di ujung tersebut berhasil membuat pergerakan laki-laki tadi terhenti. Sendok dan garpu yang semula berada dalam genggaman kedua tangannya terlepas begitu saja ketika suara pria tadi masuk ke rungunya. Kedua tangannya mengepal erat di samping piring makannya. Tatapannya kian tajam menyorot isi piring dengan napas memburu.
"Kamu tidak akan menolak 'kan?" tanya pria tadi yang membuat sang putra lantas mengarahkan tatapan tajam padanya.
"Memangnya saya bisa menolak ucapan Anda? Tidak pernah ada cerita saya bisa menolak apa pun yang Anda katakan, sampai kapan pun itu. Lakukan semua yang Anda inginkan, anggap saja saya adalah robot yang harus selalu menuruti semua perkataan Anda. Jangan anggap saya sebagai anak, karena saya tidak akan sudi dengan hal itu." Laki-laki tadi berkata dengan nada dingin dan tatapan tajam.
Detik berikutnya suara derit kursi terdengar disusul pergerakan laki-laki itu yang meninggalkan meja makan. Meninggalkan si pria yang kini tersenyum angkuh karena anaknya tidak membantah ucapannya sama sekali. Sedangkan sang istri yang sejak tadi diam kini tampak menatap suaminya dengan tatapan sedih. Kedua matanya kemudian mengikuti pergerakan anaknya yang telah sampai di depan pintu kamarnya di lantai dua.
Setelah mengunci pintu kamar, laki-laki tadi lantas menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Netranya menatap sebuah foto yang berada di atas nakas di samping tempat tidur. Senyum miris perlahan terbit ketika matanya menatap sosok yang berada dalam foto tersebut.
"Inikah yang kakak rasakan dulu? Apa aku akan kuat menghadapi semua ini? Atau menyerah saja seperti kakak?" Dadanya sesak mengingat ucapan ayahnya di meja makan beberapa saat yang lalu.
Pria itu adalah ayahnya, orang yang membuatnya bisa terlahir ke dunia ini. Namun, sikapnya sudah selayaknya seorang raja otoriter yang semua ucapannya harus dipatuhi oleh rakyatnya. Tidak ada yang boleh membantah, apalagi menolak titahnya.
Entah sampai kapan sikap itu akan melekat pada ayahnya. Karena sejak ia kecil dulu pun semua ucapan yang keluar dari mulut ayahnya harus ia lakukan. Seakan pria itulah yang mengatur skenario hidupnya, bukan Tuhan. Dirinya lelah, tentu saja. Tapi, melawan pun tidak ada gunanya.
Dan sejauh ia hidup di bawah perintah pria itu, hal inilah yang menurutnya tindakan paling gila dan tidak masuk akal. Menikah? Pria yang sayangnya adalah ayahnya itu memang benar-benar sudah gila.
***
Faza yang sedang memotong sayuran terkejut dengan kehadiran ibunya setelah pulang kerja. Wanita itu tersenyum menatap putrinya yang sibuk dengan pisau dan wortel di atas talenan. Juga beberapa sayuran lain yang ada di dalam baskom.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Angga✔️
Teen FictionCERITA TENTANG PERNIKAHAN DINI, BAGI YANG TIDAK SUKA BOLEH UNTUK MENINGGALKAN CERITA INI. "Berikan dia padaku, maka semua utangmu akan kuanggap lunas beserta bunganya." "Dua hari lagi, kau harus sudah memiliki jawabannya. Anakmu, atau uangmu yang ka...