Pagi ini Faza memutuskan untuk sarapan di apartemen seperti biasanya. Tidak seperti kemarin, dimana dirinya memilih sarapan di kantin sekolah untuk menghindar dari Tama. Baru saja meletakkan masakannya di atas meja, Tama sudah tampak keluar dari kamarnya dengan seragam lengkap. Hanya kurang sepatu yang belum dipakai saja.
Melihat Tama yang sudah duduk, netra Faza tanpa sengaja menatap pada luka laki-laki itu yang kemarin ia balut dengan plester saat di UKS. Plester itu telah menghilang entah ke mana, dan luka yang agak panjang dan cukup dalam itu menganga dengan warna merah darah segar.
Mengabaikan Tama yang telah mulai menyantap makanannya, Faza berjalan meninggalkan meja makan untuk mencari kotak obat. Tak lama, gadis itu kembali dengan sebuah kotak putih di tangannya. Ia kemudian berhenti di samping Tama yang masih fokus pada sarapannya.
“Mas, maaf sebelumnya. Itu lukanya yang kemarin aku tutup lagi boleh? Takutnya nanti malah kegores, terus nambah parah.” Faza berkata lirih dengan kepala yang ia tundukkan dalam.
“Eh, tapi kalau nggak boleh nggak papa kok. Biar aku balikin kotak obatnya, maaf aku lancang banget.” Buru-buru Faza menambahkan karena dirinya baru saja tersadar akan apa yang ia lakukan saat ini.
Saat tangannya baru saja menyentuh kotak obat untuk ia bawa kembali ke tempatnya, Tama malah menyodorkan tangannya yang terluka itu ke hadapan Faza. Gadis itu jelas terkejut, bahkan saat ini Tama masih sibuk memasukkan satu sendok nasi dengan tumis buncis itu ke dalam mulutnya tanpa berkata apa-apa.
Setelah kembali tersadar, Faza langsung meletakkan kembali kotak obat tadi dan membukanya. Mencari plester luka untuk menutup luka Tama yang ia lihat masih seperti kemarin. Darah masih keluar dari luka itu, sehingga Faza perlu membersihkannya terlebih dahulu.
Tama tetap diam tanpa bersuara atau menatap Faza yang kini tengah menempelkan plester luka. Padahal Faza sejak tadi berusaha mati-matian untuk meredakan rasa gugupnya karena takut Tama akan memprotes hal yang tengah ia lakukan ini. Namun, hingga ia selesai laki-laki itu sama sekali tidak mengeluarkan suaranya sama sekali.
Setelah plester terpasang sempurna, Faza menutup kotak obat tadi dan bersiap untuk menikmati sarapannya hari ini. Ia bisa melirik dari sudut matanya jika Tama yang duduk di hadapannya saat ini sedang meneguk air putih dari gelas.
“Terima kasih.” Faza langsung menatap Tama begitu mendengar suara laki-laki itu.
Dilihatnya Tama yang kini mulai berdiri dari duduk sambil memakai jaketnya. Laki-laki itu sama sekali tidak menatapnya, tapi ucapannya tadi membuat Faza sedikit mengernyitkan dahinya bingung.
“Terima kasih sudah membalut luka saya.” Ucapan itu membuat Faza tanpa sadar menatap langsung pada kedua mata Tama yang menatapnya dengan tatapan datar tanpa ekspresi.
“Jangan bolos lagi.” Satu kalimat yang diucapkan Tama tepat sebelum laki-laki itu berjalan meninggalkan Faza yang terkejut di meja makan.
Kedua mata gadis itu mengerjap pelan, masih terkejut akan apa yang baru saja ia dengar. Ia masih bisa melihat Tama yang saat ini tengah memakai sepatu di dekat pintu. Tak lama laki-laki itu keluar dari pintu apartemen meninggalkan Faza sendirian dengan jantungnya yang lagi-lagi berdetak tidak normal. Padahal Tama tadi berkata dengan wajah datar tanpa ekspresi dan tatapan tajam yang menatap langsung padanya, tapi hal itu nyatanya mampu membuatnya merasa panas dingin seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Angga✔️
Teen FictionCERITA TENTANG PERNIKAHAN DINI, BAGI YANG TIDAK SUKA BOLEH UNTUK MENINGGALKAN CERITA INI. "Berikan dia padaku, maka semua utangmu akan kuanggap lunas beserta bunganya." "Dua hari lagi, kau harus sudah memiliki jawabannya. Anakmu, atau uangmu yang ka...