Satu minggu telah berlalu dan hari ini adalah hari dimana Faza resmi melepas masa lajangnya di usia yang masih sangat muda, 18 tahun. Gadis itu bahkan tak bisa menampilkan senyumannya di hari yang kata orang adalah hari paling bahagia ini. Dirinya yang tengah dirias di dalam kamarnya hanya bisa menatap kosong pantulan dirinya pada cermin di hadapannya.
Di depan pintu kamar tersebut, Bu Mirna berdiri menatap putrinya dengan lelehan air mata di wajahnya. Wanita itu tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya sejak sang anak memutuskan pilihannya satu minggu yang lalu. Bahkan wanita itu masih belum percaya jika sebentar lagi Faza akan resmi menjadi seorang istri.
Tidak ada raut bahagia di wajah Faza, tidak selayaknya calon mempelai wanita di saat hari pernikahan mereka. Jelas saja, karena pernikahan ini bukanlah sebuah hal yang membahagiakan bagi gadis itu. Entah akan jadi seperti apa kehidupan rumah tangganya besok, yang pasti semua orang berharap yang terbaik.
“Sudah selesai ya, Mbak. Saya tinggal dulu, nanti ibunya Mbak yang akan menjemput ke sini.” Faza menarik senyuman tipis di wajahnya ketika perempuan yang merias dirinya pamit keluar.
Gadis itu kembali menatap pantulan dirinya yang kini telah memakai kebaya putih dengan polesan make up di wajahnya. Apa dirinya tidak terlalu cantik untuk sebuah pernikahan seperti ini? Karena dirinya merasa jika pernikahannya bukanlah pernikahan impiannya.
Bu Mirna melangkah mendekati Faza ketika perempuan yang merias putrinya tadi dudah keluar. Wanita itu turut menatap bayangan Faza melalui cermin di hadapan mereka. Putrinya memang terlihat sangat cantik, dirinya jelas mengakui hal itu.
“Ibu ….” Suara lirih Faza membuat wanita itu tersenyum pada pantulan mereka di cermin.
Tubuh ringkih putrinya ia dekap erat dan seketika air mata mereka luruh, menjadi satu dalam dekapan hangat ibu dan anak yang sama-sama merasakan sedih yang sangat dalam.
“Kamu harus kuat ya, Sayang. Ibu akan selalu ada buat dukung kamu apapun yang akan terjadi besok. Kamu anak ayah dan Ibu yang kuat.” Bu Mirna tak henti memberikan kalimat-kalimat penenang untuk putrinya.
Beberapa menit larut dalam air mata, Bu Mirna mengajak Faza untuk keluar dari kamarnya. Menuju ruang tamu yang telah dipenuhi oleh beberapa orang yang tidak dikenal oleh Faza. Gadis itu terus menunduk hingga sang ibu menyuruhnya untuk duduk di samping laki-laki yang kini duduk bersila berhadapan dengan ayahnya yang dibatasi oleh sebuah meja di tengah-tengah mereka.
Faza menatap ayahnya untuk waktu yang sangat singkat. Wajah Pak Surya menampilkan raut sedih yang sangat terlihat. Kedua mata pria itu bahkan tampak berkaca saat melihat sang putri yang duduk di hadapannya bersandingan dengan laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi menantunya.
***
“Saya terima nikahnya Faza Aulia Pramesti binti Surya Pradana dengan maskawin tersebut dibayar tunai.” Ucapan lantang itu terdengar memenuhi ruangan tempat acara sakral bernama pernikahan ini berlangsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Angga✔️
Teen FictionCERITA TENTANG PERNIKAHAN DINI, BAGI YANG TIDAK SUKA BOLEH UNTUK MENINGGALKAN CERITA INI. "Berikan dia padaku, maka semua utangmu akan kuanggap lunas beserta bunganya." "Dua hari lagi, kau harus sudah memiliki jawabannya. Anakmu, atau uangmu yang ka...