Isakan Faza mulai reda setelah beberapa saat kemudian. Sama sekali tak ada tanggapan dari Tama atas ucapan terakhir Faza tadi. Laki-laki itu lebih banyak merenungi kalimat yang diucapkan Faza. Semuanya memang benar, dan ia tidak akan menyangkalnya.
Getar ponsel di saku celananya mengalihkan perhatian Tama. Tangannya menarik keluar ponsel miliknya dari saku celana. Sebuah pesan masuk dari Rian langsung terlihat begitu kunci layar ia buka. Laki-laki itu lantas berdiri dari posisi duduknya.
“Kita keluar dulu. Kalau kamu masih ingin bercerita, kita cari tempat. Kelasnya harus saya kunci.” Tama berkata pelan, bukan dengan nada tegas seperti biasanya.
Faza lantas mengusap sisa air matanya meski masih tetap ada yang mengalir dari kedua matanya. Ia kemudian bangkit berdiri dan berjalan lebih dahulu keluar dari kelas. Saat sampai di luar, gadis itu langsung menuju ke arah toilet meninggalkan Tama di belakangnya yang kini terus menatapnya.
Setelah mengunci pintu kelas IPA 5, Tama tak langsung pergi. Dirinya kini duduk di bangku yang berada di depan kelas tersebut. Kepalanya sesekali menoleh ke arah Faza tadi pergi. Cukup lama dirinya duduk di sana hingga kemudian melihat Faza yang muncul dari ujung koridor.
Faza yang melihat suaminya kini duduk di depan kelasnya kembali dilanda rasa gugup. Kenapa laki-laki itu tidak langsung pergi saja tadi? Bukankah awal kedatangannya dengan Rian tadi hanya untuk mengunci kelas saja?
Begitu sampai di dekat Tama duduk, Faza yang menunduk bisa melihat jika laki-laki itu sedikit menggeser tubuhnya dari posisi semula. Seakan meminta dirinya untuk bergabung duduk di sana. Dengan ragu gadis itu memutuskan untuk duduk di samping Tama.
“Sudah lebih baik? Atau masih ada yang ingin kamu ceritakan lagi?” Faza tak langsung menjawab ketika Tama bertanya.
“Cukup kok. Makasih udah dengerin cerita aku yang mungkin berlebihan banget. Maaf juga kalau sempet menyinggung ayah kamu.” Faza memainkan jemarinya di atas pangkuan.
Tama yang melihat Faza kembali menunduk tak mampu berbuat apa-apa. Ia tahu gadis di sampingnya ini hanya butuh waktu untuk menenangkan diri. Semua masalah yang datang bersamaan jelas mampu menyerang bukan saja fisik dan pikirannya, bahkan mungkin mentalnya juga mulai goyah akan semua hal yang tadi diceritakan.
“Kamu istirahat saja. Tenangkan diri kamu, saya harus pergi dulu.” Faza tidak merespons apapun selain anggukkan kecil kepalanya.
Tak lama, Tama bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan Faza yang masih duduk di sana sendirian. Lorong sepanjang deretan kelas tersebut sangat sepi, karena semua siswa memang tidak ada yang berada di dalam kelas. Jadi, Faza saat ini memang benar-benar sendirian di sana tanpa ada orang lain di sekitarnya.
Bahkan hingga beberapa menit berikutnya gadis itu masih tetap duduk di tempatnya. Sama sekali tidak ada pergerakan yang terlihat. Kepalanya pun masih menunduk tanpa sedikit pun mendongak untuk menatap sekelilingnya yang sepi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Angga✔️
Teen FictionCERITA TENTANG PERNIKAHAN DINI, BAGI YANG TIDAK SUKA BOLEH UNTUK MENINGGALKAN CERITA INI. "Berikan dia padaku, maka semua utangmu akan kuanggap lunas beserta bunganya." "Dua hari lagi, kau harus sudah memiliki jawabannya. Anakmu, atau uangmu yang ka...