18. Kado Terindah

23 4 0
                                    

Usai makan malam bersama mereka semua melaksanakan salat isya' berjamaah di masjid, barulah setelah itu mereka kembali berkumpul di ruang keluarga untuk melanjutkan obrolan yang tadi sempat tertunda. Selain secangkir kopi yang tersaji di meja, berbagai camilan juga menjadi peneman kebersamaan mereka hingga tanpa terasa waktu telah bergulir begitu saja. Karena sudah sepakat akan menyaksikan pertandingan bola bersama kakak ipar dan ayah mertuanya Azzam lantas menyuruh Adiva untuk beristirahat di kamar terlebih dahulu. Adiva dan Fitri pun masuk ke kamar masing-masing.

Di kamar, Adiva segera mengganti gamisnya dengan baju piyama. Namun bukannya langsung beristirahat Adiva justru merenung di atas ranjang dengan pandangan mengarah ke meja belajar miliknya. Ada perasaan ragu membelenggu hatinya. Adiva ingin bersikap tak acuh dan melupakan paket itu. Tapi sisi hatinya yang lain begitu kuat memerintahkan dirinya untuk membuka paket dari Aldebaran tersebut. Gegas Adiva merebahkan tubuhnya lalu menarik selimut. Secara paksa Adiva memejamkan mata agar segera tertidur. Tak henti Adiva juga mengucapkan istighfar dalam hati demi mengenyahkan perasaan terlarang yang terus saja mengusik hatinya.

Berselang 15 menit Adiva kembali bangkit lalu menyibak selimut dari tubuhnya. Tanpa berpikir panjang lagi Adiva langsung saja turun dari ranjang lalu melangkah menuju meja belajar dengan jantung berdebar kencang. Sejenak Adiva terdiam di kursi meja belajar itu sembari menghela napas panjang dan menghembuskan secara perlahan hingga terulang beberapa kali.

Kriek.... Pintu lemari kecil yang berada di bawah meja belajarnya terbuka. Tak hanya jantung Adiva yang semakin bekerja liar tetapi tangan Adiva pun bergetar hebat saat melihat paket berukuran kecil berwarna biru laut di hadapannya. Tak ingin membuang waktunya dengan percuma Adiva pun segera mengambil gunting untuk membuka bungkus paket tersebut. Setelah meloloskan bungkus pertama Adiva kembali membuang napas kasar saat melihat kotak berwarna hitam dengan pita silver di atasnya.

"Ya Allah tolonglah jaga hati hamba yang telah rapuh karena cinta ini, hamba tahu ini adalah dosa besar. Tapi hamba mohon jadikan ini hal terakhir untuk hamba melukai hatinya," gumam Adiva dalam hati sembari melepaskan pita tersebut.

Seketika netra Adiva terpukau saat melihat kilau perhiasan di dalamnya. Di sana tampak gelang berbahan emas putih dengan bertuliskan namanya, Adiva. Netra Adiva mulai berkaca-kaca lalu dengan tangan yang semakin bergetar hebat Adiva memegangnya. Adiva segera tersadar lalu mengembalikan gelang itu pada tempatnya semula. Sebelum menutup kotak itu Adiva mengambil sebuah kertas berwarna silver dengan bentuk lipatan tanda hati di sebelahnya. Tak langsung membacanya Adiva memasukkan kertas tersebut ke dalam saku piyama yang dikenakannya.

Kembali Adiva naik ke ranjang lalu merebahkan tubuhnya. Cukup lama Adiva hanya terdiam dengan pandangan fokus ke atas. Di langit-langit kamar itu semua kenangan indah bersama Aldebaran seolah berputar layaknya layar lebar.

"Ya Allah, bagaimana hamba mampu melupakan laki-laki itu jika Engkau masih saja memberikan jalan pada kami untuk saling merindukan," gaung hati Adiva sembari menilik jam dinding yang seolah bersaing dengan detak jantungnya.

Adiva mengubah posisinya menjadi tengkurap kemudian mengeluarkan kertas tadi dan segera membukanya. Mulailah netra Adiva menelusuri kata demi kata yang tertulis di sana dengan hati bergemuruh.

To My Heart,

Assalamualaikum...

Seperti tahun-tahun sebelumnya aku ingin menjadi orang pertama yang mengucapkan hari kelahiranmu. Aku ingin menjadi satu-satunya laki-laki yang berhak mencintai dirimu. Biarlah aku egois, karena hanya dengan itu aku mampu menjaga hatiku yang sudah terlanjur kecewa. Tapi tak mengapa, aku tidak pernah menyalahkan kamu atas semua luka ini. Keadaan dan garis tangan kitalah yang menuntun sampai di titik ini. Aku hanya meminta satu hal darimu, izinkan aku menyebut namamu dalam setiap sujudku disaat rindu ini mengoyak kalbu. Izinkan aku menatap wajah dan senyumanmu melalui foto-foto kebersamaan kita dulu. Aku sangat sadar jika semua ini salah. Tapi aku bisa apa Div, hatiku telah tertawan olehmu. Bahkan tak ada sedikitpun celah untuk cinta yang lain. Asal kamu ingat Adiva, cinta ini telah kita mulai tanpa adanya pengakhiran.

Tiga Hati Satu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang