37. Salam Perpisahan

22 4 0
                                    

Sebaik-baiknya pengingat adalah kematian.

_______________&&&______________

Langkah Adiva gontai mendekati tubuh Azzam yang telah terbujur kaku di hadapannya. Air matanya terus mengalir sembari menelisik setiap detail wajah Azzam untuk yang terakhir kalinya. Suaminya itu tersenyum indah dalam tidur panjangnya. Azzam terlihat sangat tampan dan tenang.

"Nduk yang sabar," bisik Fitri yang selalu berada di sisi Adiva. Sejak Azzam dinyatakan meninggal tadi tak sedetikpun Fitri membiarkan Adiva sendirian.

Dunia Adiva runtuh seketika hanya dalam sekejap mata. Sunyi dan gelap. Tak ada lagi yang tersisa di hatinya. Azzam telah membawa pergi semua bersamanya. Pandangan Adiva hanya fokus pada laki-laki yang semalam masih bercerita banyak hal padanya. Adiva berharap ini semua hanyalah sebuah mimpi. Nanti saat dirinya terjaga maka Azzam lah yang memeluknya dengan erat seperti malam-malam yang telah mereka lalui bersama. Rasanya Adiva tidak akan sanggup lagi melanjutkan hidupnya. Azzam adalah dunianya lalu bagaimana dirinya bisa bernapas tanpa laki-laki itu di sampingnya. Bagaimana dirinya bisa tersenyum tanpa canda tawa laki-laki yang telah menguasai seluruh hatinya. Azzam memang bukanlah cinta pertamanya tapi cinta terakhir dalam hidupnya.

"Mas jangan tinggalkan aku. Mas sudah berjanji akan selalu bersamaku tapi mengapa Mas pergi tanpaku?" lirih Adiva seraya membelai wajah Azzam dengan air mata yang terus bergulir.

"Mas bangun Mas, aku nggak bisa hidup tanpamu Mas Azzam," rintih Adiva begitu menyayat hati. Adiva lalu menatap tubuh Azzam yang telah tertutup kain batik. Lalu Adiva memeluk tubuh Azzam dengan erat berharap laki-laki itu berbaik hati untuk kembali bangun.

"Istighfar Nduk istighfar," sahut Fitri dengan suara bergetar menahan isak tangis.

Arumi yang saat ini menangis di samping Azzam lalu meraih tubuh adiva ke dalam pelukannya. Arumi tak mampu lagi berucap sepatah katapun. Hatinya pun remuk tak bersisa saat mendengar kabar putra sulungnya telah pergi untuk selamanya. Rasanya baru kemarin dirinya menimang, mencium, memeluk Azzam. Tapi lihatlah sekarang. Putranya tak bergerak sedikitpun. Azzam hanya terdiam tanpa kata. Hanya senyuman indah itu saja yang menyapa semua orang yang melihatnya. Allah mengambil Azzam kembali dengan sangat indah. Saat laki-laki itu bersujud menghadap Allah di tiga seperempat malam. Di kala Allah turun secara langsung dari arsy untuk menyapa para hamba yang bangun demi bertemu dengan-Nya. Azzam kembali kepada-Nya dengan cara yang mulia. Cara yang diidamkan oleh semua hamba Allah.

"Maaf, kami harus segera mengurus jenazah secepatnya," pamit seorang laki-laki seusia Azzam. Dia adalah teman Azzam saat masih menempuh pendidikan di pesantren dulu hingga sekarang.

Dengan tubuh bergetar hebat Adiva mencium kening, hidung, kedua kelopak mata, kedua pipi, dan bibir Azzam untuk yang terakhir kalinya sebagai salam perpisahan. Seperti saat semalam Azzam melakukanya.

"Aku mencintaimu Mas Azzam, tunggu aku di sana, kita pasti akan bersama kembali," bisik Adiva di telinga Azzam.

Lalu diikuti oleh semua keluarga yang ingin memberikan penghormatan terakhir kepada Azzam. Azzam adalah putra, suami, guru, teman, dan rekan yang baik di mata keluarga dan semua orang yang mengenalnya.

Jenazah Azzam di tutup keranda lalu kain berwarna hijau bertuliskan nama Allah. Bunga-bunga yang sudah dirangkai itu pun diletakkan satu persatu di atasnya. Empat orang mengangkat keranda Azzam dengan hati hancur berkeping-keping. Hisyam dan Farhan lah yang berada di bagian depan untuk membawa jenazah Azzam ke masjid untuk disalatkan. Saking banyaknya orang yang ingin ikut menyalatkan jenazah Azzam hingga masjid tidak mampu menampung semuanya. Akhirnya salat jenazah di bagi menjadi 2 bagian. Sesuai keinginan Haidar dan Mansur maka kedua orang tua itulah yang menjadi imam salat.

Tiga Hati Satu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang