Disinilah Zi sekarang. Berada di mobil Fatih dengan Chiko yang memeluknya. Sedari tadi wanita itu menahan tangisnya menahan rasa sakit di perut dan pinggangnya.
"Zi, lo kedatangan tamu?"
Zi mendongak menatap Mira. "Iya, ininya sakit." Ucapnya meremas perutnya.
"Jangan digutuin." Chiko mengulurkan tangannya untuk mengelus perut Zi yang tertutup baju.
"Gue beliin minuman dulu." Zi mengangguk kembali.
Mira segera turun dan mencari toko atau minimarket terdekat. Sedari tadi ia merasa ada seseorang yang mengikutinya. Suara derap langkah terdengar jelas di indra pendengarnya.
Gadis itu sengaja melambatkan langkahnya. Merasa orang yang mengikuti semakin dekat, Mira membalikkan tubuhnya dan memukul kaki orang tersebut.
Mira berdecak saat mengetahui siapa orang yang mengikutinya. "Lo lagi, lo lagi."
Raka berdiri. Pria itu menatap Mira seraya bersedekap dada. "Saya hanya memastikan calon istri saya aman."
Rahang Mira mengeras. "Denger gue baik-baik. Gue gak mau jadi istri lo."
Satu alis Raka terangkat. "Saya tidak peduli. Semua akan saya lakukan asal kamu menjadi istri saya." Jawabnya.
"Kenapa lo bersikeras jadiin gue istri lo?"
"Karena saya mencintai kamu."
Mira terkekeh. Cinta? Bahkan dia tidak melihat cinta di mata Raka. Dia juga tidak percaya lagi dengan cinta.
"Tapi gue gak percaya sama jawaban lo. Gue yakin lo jadiin gue istri lo bukan karena cinta, pasti ada maksud lain, kan?"
Bungkam. Raka hanya bisa diam, ia tak bisa menjawab.
"Diam berarti iya, dan itu artinya lo emang gak cinta sama gue."
"Gak usah sok-sokan bilang cinta kalau masih ragu sama perasaan sendiri." Lanjut Mira.
Gadis itu melanjutkan langkahnya, meninggalkan Raka yang masih terdiam dengan ucapan Mira.
Raka mengepalkan tangannya. Apapun yang ia inginkan, harus ia dapatkan, termasuk Mira.
"Akan saya buat kamu menjadi istri saya, Mira. Lihat itu dalam lima bulan lagi."
.
.
.
"Nih!"
Zi mengambil minuman yang diberikan Mira. Wanita itu menangis sesenggukan dan mengeluh jika perutnya sakit. Satu hal lagi, pikiran negatif Zi yang mengarah ke Fatih.
Mira menggaruk dahinya. "Lo kenapa sih, Zi? Biasanya juga lo gak begini kalau kedatangan tamu. Lo ada masalah?"
Zi menggelengkan kepalanya. Dia sedang tidak mood untuk ditanyai sesuatu. Ia ingin memeluk Fatih, tapi wajah Leny selalu muncul dan membuatnya berpikiran yang tidak-tidak.
Tak lama, Fatih datang dengan tergesa-gesa, nafasnya memburu. Lelaki itu menangkup wajah Zi. "Kamu gak kenapa-napa, kan?"
Zi menyentak tangan Fatih. "Jadi kamu mau aku kenapa-napa?"
Bulu kuduk Fatih berdiri, jantungnya terasa berhenti berdetak melihat tatapan datar Zi. Apakah Zi marah? Tapi marah kenapa?
Jika Zi sudah marah, pasti dirinya akan tidur di sofa atau kamar lain. Jadinya kan tidak bisa grep-grep istrinya.
Fatih menatap Chiko dan Mira. "Kalian berdua ikut sama mobil Raka aja." Ucapnya.
Chiko hendak protes, tapi buru-buru Mira menyumpal mulut Chiko dengan iPhone 13 miliknya.
"Biarin aja, gak usah kebanyakan lambe."
Mira menarik kerah baju Chiko dan menyeretnya masuk ke mobil Raka. Biarkan saja Zi dan Fatih berduaan tanpa gangguan Chiko.
"Eh, MIRAS! Gue mau ke my twins kenapa lo tarik-tarik gue sih?"
Chiko meminum sesuatu yang entah ia tak tahu apa itu. Yang terpenting mulutnya tidak terasa asin pahit lagi. Ternyata iPhone itu rasanya tidak seperti makanan, tapi seperti ponsel.
"Hm, Chiko."
Chiko mengangkat satu alisnya.
"Itu yang lo minum bekas Zi."
"Ya, terus?" Tanya Chiko heran.
Memangnya kenapa jika dia meminum minuman bekas adiknya? Ia kembali meminumnya. Rasa minuman itu memang agak aneh.
"Tapi yang minum itu buat orang datang bulan."
Byur
"Uhuk..."
Mira memejamkan matanya. Wajah cantiknya terkena semburan maut Chiko.
"Lo kok gak ngo..."
Chiko tak bisa melanjutkan ucapannya saat melihat wajah Mira yang memerah.
"CHIKO!!"
.
.
.
Disinilah Zi sekarang, kamar. Wanita itu berbaring dengan membelakangi sang suami. Ia masih kesal karena Fatih terlambat datang.
"Udah dong, jangan marah-marah terus."
Fatih mengacak-acak rambutnya frustasi. Harus dengan cara apa lagi dia membujuk istri tercintanya itu.
Dengan hati-hati, Fatih memeluk Zi dari belakang. "Jangan marah, maaf kalau mas datang terlambat, tadi kita tangkap pelaku utamanya dulu."
Zi mengerjapkan matanya. Pelaku utama? Apa yang dimaksud Fatih tadi tante-tante yang mengaku menjadi malaikat mautnya?
Zi membalikkan tubuhnya menjadi berhadapan dengan Fatih. "Maksudnya tante-tante yang bibirnya merah kek habis minum darah, terus dandanannya yang kayak badut Ancol itu?"
Fatih mengangguk. "Tadi dia mau kabur, makanya kita lebih fokus sama nenek sihirnya."
Zi memangut paham. Jadi dia telah berpikiran yang tidak-tidak dan menuduh Fatih senang dirinya diculik, lalu menikah dengan Leny-leny itu.
"Aku kira mas seneng aku diculik." Celetuknya.
Fatin melotot. "Ya enggaklah, gak rela banget."
"Ya kan aku pikirnya gitu tadi. Terus mas nikah lagi sama si Leny-leny yang pernah melamar mas di depan aku."
Fatih membawa Zi ke dekapannya dan menghirup aroma tubuh Zi dengan rakus.
"Kalau yang sempurna udah ada di depan mata, kenapa harus cari yang lain?"
Blush
"Bunda!!! Anakmu baper!!"
"Cie... blushing." Fatih menjawil hidung Zi dengan tatapan menggoda.
"Udah ih, jangan gitu."
Namun, Fatih tak mendengarkan Zi, ia malah makin gencar menggoda. Kapan lagi Zi lihat baper.
Tak kuat menahan malu, Zi menyembunyikan wajahnya di dada bidang Fatih dan memukul pelan punggung Fatih.
Tawa Fatih pecah seketika. Sebelum menikah, ia tak pernah melihat wajah istrinya yang merah merona karena blushing.
"Masih ngambek?"
Zi menggeleng. "Gak jadi ngambek, deh."
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
COLD & SENGKLEK GUS (END)
Novela JuvenilKomedi - romance (Saran aja, baca GUS & NING dulu biar tahu alurnya) Seorang gadis kota harus masuk Pesantren di keluarga Fatih karena perintah orangtuanya. Baru saja menginjakkan kakinya disana, gadis itu bertemu dengan Fatih. Fatih yang tak senga...