37. Fathan meninggal?

27.5K 3.2K 77
                                    

Double up nih ^-^

Vote dan komen yuk!!

.

.

.

"Astagfirullah, jaman sekarang aneh-aneh banget pilem-pilemnya. Kagak ada yang mendidik sinetronnya. Kartun juga udah jarang, Nusa dan Rara juga dilarang tayang, padahal itu kartun mendidik banget lho."

"Di HP juga munculnya berita si keluarga yang rebutan harta warisan. Sekarang mah terkenal gampang, tinggal pansos sana-sini udah langsung terkenal."

"Ini juga si botak kembar perasaan kagak pernah dah lulus TK, mana gak pernah tumbuh rambut tuh kepala."

Fahri yang mendengar Abinya menggerutu hanya bisa menghela nafas panjang, mencoba untuk mengatur emosinya agar tidak meneriaki Fathan.

"Kamu kenapa diam aja, gak nyahut apa Abi ngomong."

Ya salam...

Kira-kira laku tidak, ya, jika menjual Fathan di Olshop? Ingin sekali ia menukar atau menjual Fathan, tapi takut Aisy ngamuk.

Lagian begini. Kalau Fahri nyahut nanti Fathan marah seperti hari-hari lalu, katanya tidak sopan. Tapi kalau tidak menyahut sama sekali malah marah-marah.

Terserah bapak Fathan ajalah!

.

.

.

Zi mengusap perut buncitnya. Sudah hampir satu jam ia hanya duduk selonjoran, menunggu Fatih yang entah menanam apa di kebun.

Keringat di rambut, kening, dan lehernya membuat Fatih terlihat seksoy. Apalagi kaos hitam polos Fatih yang sedikit basah membuat lekuk tubuhnya juga sedikit terlihat.

Zi mendengus kesal melihat tatapan salah satu perempuan disana yang menatap Fatih penuh puja. Hey, apakah perempuan itu tidak tahu jika dirinya ini adalah istrinya seorang Fatih?

Dengan kesal ia berjalan mendekati Fatih dan langsung memeluknya, tak peduli badannya juga terkena keringat Fatih.

Fatih mengusap lembut kepala Zi dengan tangan kirinya, karena tangan itu yang bersih. "Hey, kamu kenapa?"

Zi mendongak, matanya sudah berkaca-kaca. "Tuh cewek liatin kamu terus," ucapnya merengek.

Fatih menghela nafas. "Yaudah, mending kamu ikut mas berkebun aja, gak lama, kok."

Zi mengangguk setuju. Ia mengikuti instruksi dari Fatih, sedangkan perempuan yang melihat Fatih penuh puja tadi langsung terdiam.

"Kenapa kamu, Dewi?"

Perempuan yang bernama Dewi itu menoleh. "Gak ada apa-apa, Mbak."

Orang yang dipanggil mbak tadi menghela nafas. Ia sangat paham dengan tatapan adiknya yang menatap istri Gus Fatih.

"Kalau kamu mikir bisa ngerebut Gus Fatih, jangan harap. Gus Fatih udah Bucin stadium akhir sama istrinya," ucap sang mbak.

Dewi tak menghiraukan ucapan mbaknya. Ia malah semakin mendekat kearah suami-istri itu.

"Assalamualaikum."

Fatih dan Zi yang awalnya saling bercanda gurau pun diam. "Waalaikumsalam."

Dewi mengulurkan tangannya di depan Fatih, bermaksud berkenalan pria yang akan menjadi Ayah itu. Namun bukan Fatih yang menerima jabatan tangan itu, tapi Zi.

Ibu hamil itu tak rela saat melihat Dewi bersikap centil kepada suaminya. Memang istri mana yang rela suaminya digoda seperti, takutnya kecantol. Lagipun untung saja Fatih cuek dan memilih melanjutkannya pekerjaannya.

"Mbak mau kenalan sama saya?" tanya Zi.

Dewi mendengus. "Saya mau kenalan sama mas ganteng itu, bukan embak."

"Tapi saya istrinya, sama saja dong!"

"Istri? Wajah embak kelihatannya muda, pasti hamil duluan, ya?"

Suara Dewi yang memang keras membuat semua orang yang ada di kebun mendengar ucapan Dewi. Mereka meringis saat Dewi dengan gampangnya mengucapkan hal yang tidak-tidak.

"Apa maksud anda berbicara itu kepada Zi?" Aisy bersedekap dada menatap Dewi. Enak saja perempuan itu berbicara tentang menantunya yang tidak-tidak.

Dewi menatap wanita paruh baya yang tidak lain adalah Aisy. "Anda siapanya dia? Oh, pasti ibunya perempuan inikan?" ucapnya menunjuk Zi.

Aisy mencengkeram telunjuk Dewi yang beraninya menunjuk menantunya. "Iya, saya ibunya, ibu mertuanya."

Dewi membeku. "A-apa?"

Aisy tersenyum puas. "Saya ibu kandung Fatih, mertua Zi."

Dewi menunduk dan berulangkali meminta maaf kepada Aisy. Ia segera pergi dari hadapan Aisy dan kembali ke embaknya.

"Umi keren!" Zi mengacungkan kedua jempolnya.

Seorang pria paruh baya berlari menghampiri mereka dengan nafas terengah-engah.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Kenapa pak Dul?"

"Itu, ada warga yang meninggal."

"Innalilahi wa innailaihi Raji'un."

"Yang meninggal siapa Pak Dul?"

"Nak Fathan."

"Apa?!"

Belum selesai pak Dul melanjutkan omongannya, Aisy, Fatih dan Zi langsung berlari pulang. Zi tak peduli dengan kondisinya yang tengah hamil tua. Saat ini yang terpenting ia memastikan keadaan Abi mertuanya.

Namun saat di rumah mereka melihat Fathan yang bersantai di ruang tengah ditemani secangkir kopi hitam. Mereka bernafas lega. Ternyata bukan Fathan didepan, tapi Fathan orang lain.

"Assalamualaikum, Abi."

"Waalaikumsalam. Kalian kenapa ngos-ngosan begitu. Ini juga Umi, udah tua nanti encok. Kamu juga Fatih, istrinya hamil tua malah dibiarin lari. Nanti kalau cucu Abi brojol belum waktunya gimana?"

"Kita itu khawatir, Abi. Kata pak Dul tadi ada orang meninggal, terus namanya Fathan. Kita pikir itu Abi, ternyata Alhamdulillah bukan," jelas Zi.

Fathan memangut paham. "Fathan anaknya Pak Agus kali."

"Terus kenapa pak Dul laporan ke mas Fatih?" tanya Zi bingung.

"Emang biasanya gitu, nak. Kalau gak ke Fatih ya ke Abi?"

"Lah? Kok gitu?"

"Tanya aja sama orang-orang, apa alasannya?"

.

.

.

COLD & SENGKLEK GUS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang