28. SIAPA?

136 5 0
                                    

“halo?”

Aletta segera mengangkat telfonnya saat sebuah nama tertera di notifikasi utama ponselnya.

kemana aja?”

Suaranya nampak frustasi disana, gadis itu berusaha menghela nafasnya kemudian baru menjawab.

“nggak kemana-mana.” Jawab aletta cuek tanpa berkata lebih lagi.

aku tungguin tadi di warjok, kamu kemana?”

aku chat juga nggak di baca.” Lanjut lelaki itu di sambungan telfon.

Aletta memutar otak untuk menjawabnya, takut-takut ia salah menjawab pertanyaannya.

“aku pulang duluan, lagi ada.. acara.” Jawab aletta sedikit ragu, susahnya menjawab membuat aletta dirundung rasa bersalah pada gara.

nggak lagi bohongin aku, kan?”

“enggak, trust me..”

“al?”

“iya?”

kalau ada masalah.. cerita ya?”

bagi-bagi masalahnya sama aku, nggak papa.. yang penting kamu jangan kayak gini.”

“gini gimana?”

rasanya beda kalau ngomong sama kamu sekarang,” ungkap lelaki di sebrang sana dengan jujur.

“aku masih sama,”

“masih punyanya gara..”

tapi, aku... takut.”

***

3 hari mereka tidak bertukar kabar, rasanya tentu hampa bagi gara dan juga aletta. Jika saling bertemu pun mereka hanya saling tatap-tatapan rindu beberapa detik saja, tanpa membuka suara sedikitpun tentunya.

“gar, aletta itu!” ucap bagas saat mereka berjalan melewati koridor sekolah hingga berpas-pasan dengan aletta tadi.

“gar?” devan turut berucap namun tidak ada tanggapan sama sekali dari sang empu.

“udah, mungkin lagi ada masalah kali.” Bisik fadhil pada kedua temannya itu.

Gara mengambil langkah paling depan sehingga tidak mendengar ucapan mereka yang berada di belakangnya.

Bertemu dengan gadisnya bukan jalan yang terbaik kali ini, gara tidak tahu apa permasalahan yang terjadi di antara keduanya sampai-sampai aletta tidak pernah memberikan kabarnya lagi pada gara.

Sejak terakhir mereka telfonan gara merasa ada yang berubah dari diri aletta, entah itu apa. Gadisnya seperti sedang mempunyai masalah, namun lelaki itu memilih untuk diam tanpa berbicara apapun padanya.

Gara ingin, ingin bertanya pada aletta tentang hal yang terjadi dengan keduanya sejak beberapa hari lalu. Tapi lagi-lagi keadaan sedang tidak memungkinkan diantara keduanya. lelaki itu hanya menunggu dan menunggu aletta menceritakan semua masalah mereka masing-masing hingga waktu yang tak dapat di tentukan.

“cabut nggak?” bagas menyentakkan lamunannya.

“kemana?” tanya gara.

“warjok, kalau nggak rooftop.”

“bawa tas?” tanya gara heran, biasanya kalau mau bolos ya bolos aja, nggak pake bawa tas-tas segala.

“iyalah, biar sekalian pulang.” Jawab bagas sekenanya, kemudian sesaat dahinya mengernyit seperti ada yang lupa dalam dirinya.

“eh, lo baliknya kan sama aletta ya? Yaudah deh, nggak us—”

“cabut aja, ayo.” Gara mengambil tasnya langsung tanpa mendengar ucapan yang belum selesai dari mulut bagas.

“wah, kayaknya tuh anak sedang ada problem,” devan mengusap-usap dagunya penasaran melihat tingkah gara hari ini yang selalu irit bicara.

“banyak cincong lo, buruan cabut!” bagas menggeret kerah seragam devan dari belakang, diikuti dengan fadhil yang juga ikut menarik baju seragam bawahnya.

“eh tolongin! Gue mau di mutilasi!” jerit devan menatap teman sekelasnya dengan panik.

“bagi-bagi ya dagingnya kalau udah di mutilasi!” teriak salah satu teman dikelasnya.

“mau lo buat apaan, den?”

“gue mau buat bisnis burger daging manusia. Daging si devan nanti kan dibagi-bagi, daripada mubazir nggak ada yang mau, mending buat gue aja!”

“wah, otak pembunuh lo!” devan sontak melotot pada deni.

“yah, lo nggak tau aja bapak gue suka bunuh-bunuhin makhluk hidup!”

“makhluk hidup yang lo maksud itu ayam?” tawa bagas seketika.

“ah, nggak seru lo gas. Padahal yang lain udah ketakutan gitu dengernya.”

“maksudnya ayam apaan?” beo fadhil yang sedari tadi hanya menyimak perbincangan mereka.

“lo mah nggak bakal paham dil, sama humor kelas atas.” Jawab deni tertawa, mereka tidak tahu saja profesi sang ayah.

“jualan ayam..” ungkap bagas akhirnya, setelahnya ia berlari sambil terus menggeret kerah seragam devan.

“sialan, bagas!”

***

Gara memeriksa ponsel yang berada di genggamannya beberapa kali, lebih tepatnya bingung dengan keputusannya saat ini.

Dengan modal nekatnya lelaki itu segera menghubungi nomor gadisnya tanpa berfikir lama.

3x ditelfon berharap bahwa setidaknya panggilannya terjawab, namun yang di dapatinya nihil. Aletta tak kunjung mengangkat panggilannya.

Ia berdecak kesal, di tendangnya ban motor tidak bersalah itu dengan kencang. Gara menyugar rambutnya kesal, frustasi.

Kemana perginya gadis itu? gara sudah bela-bela menunggunya pulang sekolah di parkiran, tapi aletta tak kunjung keluar juga.

Semua warga sekolah sudah pulang sejak satu jam yang lalu, laki-laki itu malahan sudah berganti baju lagi karena tadi pergi membolos. Sengaja, gara ingin menjemput aletta karena rasanya tidak tahan berdiaman dengannya selama 2 hari ini.

Pada akhirnya gara berinisiatif untuk masuk kedalam sekolah daripada harus terus-terusan menunggu kehadirannya yang tak pasti.

Langkah kaki laki-laki itu membawanya kedalam ruang jurnalistik sekolah yang sudah tertutup rapat walaupun tidak terkunci pintunya.

Pendengarannya tidak salah, bukan? Ia menahan gejolak rasa emosinya kala melihat siluet perempuan dengan laki-laki lain di dalam sana. Posisinya terlalu intim untuk mereka berdua sehingga membuat gara berasumsi yang tidak-tidak.

Beberapa detik kemudian posisi gadis itu berbalik, menghadap pada pintu masuk ruang jurnalistik yang sudah terbuka lebar ulah lelaki di sebrang sana.

“gar—”

“gara, tunggu!” ia berteriak kencang pada gara yang sudah keluar lebih dulu seraya memandang mereka penuh kobaran api.

***

ALGARA [COMPLETED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang