“gara?”
Lelaki itu memberhentikan langkahnya, memandang penuh keterkejutan padanya.
“kamu tadi ada dimana?!” ia berucap panik pada gadis itu.
“di toilet, hari ini ada ekskul jurnalistik
sama savira.” beritahu aletta tanpa diminta.Mata gara mengerjap untuk menetralisir rasa terkejutnya yang beberapa menit lalu ia terima.
“savira?” beo gara pada aletta.
“iya.. kenapa sih?”
“aku tadi liat savira berduaan sama cowok, di ruang jurnalistik.”
Otak gadis itu langsung bekerja cepat menyerap perkataan gara, “ikut aku, sekarang!”
Sesampainya mereka di ruang jurnalistik ternyata sudah tidak ada siapa-siapa lagi disana, ruangan itu seketika kosong bak tidak ada penghuninya sama sekali.
“al.. aku tadi liat mereka disana!” gara menunjuk ke arah ruangan pojok dekat dengan rak buka besar.
“ngaco! Aku sama savira cuman berdua, gar!”
“enggak, al! aku liat pakai mata kepala aku sendiri kok!”
“jangan ngada-ngada, aku sama dia dari pulang sekolah cuman berdua.” Aletta tetap bersikukuh dengan pendapatnya.
Gara mengacak rambutnya frustasi, ia berusaha mengingat kejadian tadi dengan seksama di otaknya. Jika di fikir-fikir rasanya gara mengenali postur tubuh dari laki-laki itu.
“jian ada kesini nggak?” gara bertanya pada aletta yang masih terus menatapnya tanpa jeda, jika memang yang dilihatnya jian itu tidak masalah baginya karena itu urusan mereka. Tapi, jika itu bukan jian apakah savira setega itu dengan jian sampai berbuat macam-macam dengan lelaki lain?
“nggak ada.”
“berarti cowok tadi bukan jian.” Gumam gara pelan.
Aletta menatap wajah kebingungan gara dari samping, “kamu kenapa?”
Kepala lelaki itu mendongak, menatap lawan bicaranya lurus.
“nggak apa-apa.”***
“gue bilang juga apa, jangan cari gara-gara sama gue.”
Rizky berdiri di tempatnya dengan wajah yang dibuat songong.
“napa lo? Ayan?” gara mengernyit melihat wajah rizky yang cringe baginya.
“sialan lo!” maki Rizky.
“baru savira, belum aletta.” Setelah mengatakan itu rizky langsung pergi di hadapan gara.
Gara tertawa sinis menatap punggung lelaki itu.
“banyak tingkah,” cibirnya dari belakang.
Cepat-cepat ia mendial nomor teman dekatnya.
“apaan?”jawab jian di sebrang sana.
“sewot amat lo,” gara tertawa mendengar nada bicara lelaki itu yang sudah kepalang emosi.
“eh, lo liat savira nggak?” jian malah bertanya perihal kekasihnya itu pada gara.
Ia dibuat bingung dengan pertanyaan jian, di satu sisi gara menelfonnya untuk memberi tahu bahwa ia melihat savira dengan laki-laki lain, tapi di satu sisi lagi gara merasa iba jika ia bocorkan tentang hal ini pada lelaki itu.
“dih, malah diem!”
“eungg, gue nggak liat.” Alibi gara pada akhirnya.
Tidak ada yang tahu bahwa jawaban gara saat ini menentukan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan kedepannya.
“yaudah, thanks ya. Nanti kalau ketemu dia, suruh langsung telfon gue.” Pesan jian sebelum ingin menutup telfonnya.
Tut.
Sambungan terputus.
“bagus deh, kalau dia nggak tau tujuan awal gue telfon dia.” Gara bergumam sendiri seraya menatap sepatu vans-nya.
***
“rame amat? Pada lagi nungguin apa?” gara bertanya pada semua orang yang berada di warjok mang Agus.
Devan yang melihat kedatangan gara di depan sontak langsung berseru heboh.
“tadi di depan liat si anak tengil nggak?!”
“anak tengil siapa?” ia bingung dengan pertanyaan devan.
Devan berdecak, “anak yang kemaren itu, kan lo abis dari depan tuh. Liat nggak?”
“gue nggak lewat sd, van.”
“fadhil deh fadhil kalau kesini, coba telfon.” Suruh devan pada bagas yang tengah ngopi santai.
“ganggu banget sih, emang kenapa sama anak kemaren?”
“ban motor gue di kempesin, sialan!” bola mata devan berkobar marah saat menjawabnya.
“Mampus! makannya jangan suka cari gara-gara sama bocah,” gara meledeknya.
“eh, tapi tadi gue liat temennya. Yang pake kacamata itu namanya siapa teh?”
Devan dan bagas menggeleng, mereka kompak lupa dengan nama-nama gadis cilik kemaren.
“dia tadi nyapa gue, katanya.. 'halo bang gara!' gitu.” Gara menjelaskan kejadian saat ia ingin ke warjok mang Agus.
Gadis cilik itu tersenyum pada gara di balik kaca mobil yang terparkir di dekat salah satu alfamart sebelah warjok mang Agus.
“sama temennya nggak?”
Gara menggeleng, “enggak, gue liatnya sama anak kecil cowok. Kayaknya pacar yang di ceritainnya kemaren deh.” Laki-laki itu tertawa mengingatnya.
“anak sd ngapa pada centil ya?” Bagas ikut tertawa mengingatnya.
“gue dendam banget sama anak kecil cewek yang pake topi kemaren!” seru devan dengan emosi yang sudah di atas ubun-ubun.
“keren anjir! Penasaran gue sama emak bapaknya.” terawang bagas.
“mamanya preman pasar.” Gara berucap.
“iya?” dengan bodohnya bagas dan devan percaya omongan gara.
“nggak tau gue, bercanda tadi.” Lelaki itu tertawa kecil menjawabnya.
“sialan, udah serius juga.” Bagas menggerutu.
Beberapa menit suasana hening kembali, biasanya hari-hari sekarang teman sekolahnya ramai ke warjok mang Agus, tapi sekarang cuman ada 5 orang saja.
Sampai pada suara anak-anak kecil berseragam putih merah memasuki kawasan warjok mang agus.
“mang agus, beli permen!”
“nah, ini dia yang gue cari bray!” devan tersenyum lebar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ALGARA [COMPLETED]
Teen FictionDipertemukan dengan cara yang unik, berawal dari Gara yang tak sengaja menabrak gerobak nasi goreng milik seorang gadis yang di ketahui bernama Aletta Prameswari. Gara di berikan hukuman selama 1 bulan penuh oleh Aletta untuk mengganti kesalahannya...