44. WHAT'S HER REASON?

117 5 0
                                    

Boleh mengeluh?

Boleh kan?

Boleh menangis?

Boleh juga kan?

Semua itu pasti boleh di lakukan pada semua manusia di bumi ini. tapi, lelaki yang masih termenung di meja belajarnya hanya terus menahan rasa itu sampai entah kapan ia akan mengutarakannya.

Satu hari rasanya berat, berhari-hari bahkan berbulan-bulan ia lelah untuk terus berlanjut. Kenapa jadi susah sekali menjalani hidup seperti orang kebanyakan?

Ia tidak boleh menyerah, hidupnya masih panjang, mimpinya juga masih banyak. Laki-laki masa lemah, laki-laki masa lebih dulu menyerah sebelum berperang. Gara mencibir habis-habisan kepada dirinya itu.

Kalau aletta bisa kuliah di luar negeri, kenapa gara tidak bisa?

Setiap ia mengingat hal-hal positif dari gadis itu gara selalu kembali bersemnagat, walau tau kenyataannya gadis itu sudah pergi darinya jauh.

“gara,” pintu kamar di ketuk dari luar. Itu suara uminya, segera langkah kaki gara mendekati knop pintu dan membuka pintunya lebar-lebar.

“kenapa, umi?”

“ada teman-teman kamu di bawah, gih samperin.”

Annake membuka mulutnya kecil karena terkejut saat gara memilih meluangkan waktunya sendiri.

“suruh pulang aja, gara lagi mau sendiri dulu.”

“beneran? Biasanya kalau ketemu temen kamu, kamu langsung ajak mereka tanding ps di kamar.”

“sekarang udah nggak lagi, gara mau belajar aja seharian tanpa ada yang ganggu.”

Annake melihat jelas perubahan anaknya, itu semua pasti karena aletta. Ia tidak marah karena anaknya berubah menjadi introvert, tapi wanita itu percaya ada perubahan besar nanti yang berdampak langsung pada kehidupan anaknya.

“yaudah kalau gitu, belajarnya jangan di forsir ya. Kalau butuh sesuatu jangan lupa ke bawah.”

Gara mengangguk seraya tersenyum lesu, uminya sangat pengertian sekali terhadapnya. Rasanya kalau mengingat semua kebaikannya ia tidak bisa kalau tidak menangis.

***

“kenapa lo harus ngulang kelas lagi? Nggak ada alternative lain gitu?”

“gue nggak tau, jalanin aja.” Jawab gara di sebrang sana.

Jian menghela nafasnya kasar, ingin mengungkapkan banyak hal tapi rasanya sangat ragu.

“gar, gue minta maaf. Gue janji bakalan cari pelaku yang udah kirim foto aletta sampai buat lo khawatir dan ngalamin kecelakaan.”

“udah takdir, percuma lo cari juga. Gue udah ikhlas duluan.”

“ya, lo emang ikhlas sama keadaan lo saat ini. tapi, sama aletta? Nggak yakin kalau lo beneran ikhlas ditinggal pergi gitu aja.” Ledek jian terhadapnya.

Gara mengumpat merasa langsung terfikirkan oleh aletta saat itu juga.

“nggak usah ngingetin soal dia, gue mau move on bentar lagi.”

“halah, wadul banget lo! Gue jamin, lo nggak bakal ngelupain dia dengan perkiraan waktu yang cepat.”

Gara berdecak, jian terlalu mengurusinya hingga jauh. Padahal urusi saja urusannya yang belum kelar dengan savira.

“urus aja savira sana, gue yakin abis putus sama lo dia—“

“gue belum putus sama savira!”

Laki-laki di sebrang sana tertawa keras, merasa bahwa ucapan jian tadi adalah salah satu kegamonannya terhadap savira.

sama-sama selingkuh, gue yakin lo cuman manas-manasin savira tapi yang lebih dulu kecolongan itu lo, savira ketahuan selingkuh sama rizky.”

“terus kalau lo tau kenapa dari dulu lo nggak bilang?!”

“mau banget gue bilang kayaknya?”

“garaanjing!”

***

“umi,” panggil gara di anak tangga, melihat uminya tengah sibuk membuat sesuatu di dapur segera ia ikut penasaran.

“eitss, duduk aja!” cegah annake sebelum laki-laki itu memilih mengacakan hasil karyanya.

“gara cuman mau bantuin doang, nggak ikut makan kok!”

“halah, udah kamu diem aja. Duduk noh di kursi.” Annake melirik kursi makan di sebelahnya, bermaksud gara untuk melihatnya saja tanpa harus untuk membantu.

Gara menurut, pandangannya tak lepas dari sang umi yang sibuk dengan pekerjaannya sekarang.

“udah belajarnya?” tanya annake di sela-sela kegiatan.

“udah, udah bosen maksudnya.”

Uminya tertawa, senang rasanya melihat wanita paruh baya itu tertawa dengan suatu hal-hal kecil yang menurutnya hanya sebuah ucapan tidak penting.

“umi tau aletta kemana?” laki-laki itu tidak pernah menanyakan persoalan ini pada annake, apalagi menyangkut kisah cintanya dengan seseorang.

“kalaupun tau emang kenapa? Kamu juga pasti nggak bakal ngejar lagi.”

“loh, beneran tau? Gara—”

“enggak, umi enggak tau.”

Gara yakin uminya pasti mengetahui sesuatu tentang aletta. Apalagi tentang bukti yang teman-temannya bicarakan bahwa waktu ia koma, aletta lah yang selalu mengunjunginya tiap hari.

“kalau umi emang tau, tolong kasih tau gara, ya? Gara cuman mau tanya keadaannya aja, selebihnya gara nggak bakal tanya alasan dia yang milih buat lepas dari gara.” Matanya berkaca, mengingat semua perlakuannya terhadap aletta kenapa gadis itu memilih melepaskannya begitu saja?

Gara punya salah, ya? kalau iya kenapa aletta tidak memberi tahunya saja, kenapa aletta malah memilih jalan yang sulit untuk keduanya.

Semuanya pasti memiliki alasan tersendiri, dan.. gara selalu menunggu alasan itu kapanpun.

***

ALGARA [COMPLETED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang