Prolog

2.3K 154 28
                                    

Kerajaan Klungkung, 1908

Jeongguk

Satu panah menancap di ulu hati. Ia tidak peduli. Semua orang kalang kabut karena bala tentara itu hadir diantara riuhnya masyarakat yang sudah mereka duduki dari sedari kapan. Hilir arus manusia yang melaluinya sudah tidak bisa dihitung. Beberapa berteriak meminta pertolongan, sekadar sebuah ampunan, atau sebatas dibebaskan. Klungkung bermandikan darah peperangan. Puputan tidak cukup memukul mundur pasukan Belanda yang ada di depan. Tidak membuat fokus tubuh Jeongguk berpaling menghadap kea rah berlawanan.

Riuh memekakan telinga juga tidak membuatnya bergeming dari tempatnya sekarang. Menyaksikan dua ekor naga raksasa yang merunduk seperti berdoa. Sekujur tubuh keduanya kaku, serupa batu. Tidak ada tanda kehidupan bisa membuat Jeongguk tidak gundah. Batinnya kalang kabut sudah. Tidak ada lagi yang bakal menyambanginya di pagi hari, sekadar menyapa dan memberinya ucapan kasih. Tidak akan ada lagi tawa menggema yang hampir selalu memenuhi Pura Dalem ketika mereka tidak sengaja bersenda gurau terlalu kencang. Jeongguk sendiri. Ia seorang diri sekarang.

"Bli," panggilnya merintih. Tubuhnya terhuyung-huyung berusaha mengguncang ekor reptil raksasa yang kira-kira punya ukuran tinggi lima kali tubuh manusia. "Jawab, bli." Semua rasa tumpah ruah ke permukaan. Tidak lagi bisa Jeongguk bendung hasrat meluluhlantakkan yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam. Petuah-petuah sang kakak masih terngiang meski tidak lagi bisa ia jadikan acuan. Biarlah kemarahan ini membumihanguskan siapa saja yang ada. Entah sengaja atau tidak, seluruh umat manusia di radiusnya harus merasakan pedih serupa seperti yang tengah ia rasa. Mengkhianati kekacauan dan duduk berkabung. Mengenang jasa kedua ekor naga yang memilih pergi meninggalkan apa saja yang ada. Jeongguk bisa katakan kalau ini langkah Puputan paling mengerikan. Tidak ada yang bakal mengira kalau kedua kakaknya memilih berpulang. Sementara atau selamanya, ia tidak tahu.

Percik darah yang menetes di atas rerumputan mendeskripsikan keadaannya dengan apik. Kacau dan berantahan. Susunan otot dan sulut-sulur penghidupan baru terbentuk di atas tulang yang ia bawa. Menyatu di dalam dirinya dan dekat selayaknya nadi. Ia genggam udara yang ada di hadapan. Penyeimbang antaranya dan daratan. Menghentak satu demi satu dan menyelimuti wujudnya jadi bersisik. Kelam, keemasan, dan tidak terkalahkan. Seluruh pasang mata memandangnya bermacam-macam. Lega, takut, tidak menduga. Saat-saat yang tidak mereka duga datang pula, rupanya.

Gema kepedihan yang Jeongguk mengantarkan getaran yang mampu menghancurkan beberapa batuan sekitar yang tidak sengaja menghalangi suaranya. Dari dalam kerongkongan, pelan-pelan ia tarik napas dalam dan mengubahnya jadi semburan api yang lumayan besar. Memukul pasukan tentara Belanda mundur beberapa langkah. Banyak yang berlari akibat busananya yang tidak sengaja terbakar, meminta tolong seolah mereka ini kemari untuk saling gotong royong, atau menyelematkan apa saja yang bisa mereka lindungi. Ya. Inilah wujudnya yang harus diingat semua orang. Ini yang ia inginkan.


Gianyar, 2019

Jeongguk

"Jeongguk!" pekik Taeyeon dari dalam rumah mampu mengusik Jeongguk yang masih baru meletakkan satu canang di depan pagar rumah.

Setelah berdoa beberapa saat, ia bangkit dan menyambut perempuan paruhbaya yang sudah mengasuhnya sedari kembali dari Australia. "Nggih(iya), mbok." Parasnya yang cantik diusia yang terbilang tidak terlalu muda lagi, membuat siapa saja mengulas senyum sejenak. Mengagumi betapa keindahan rupa bisa mengelabuhi siapa saja yang tidak tahu berapa umur Taeyeon yang sebenarnya. Riasan tipis dipadukan dengan setelan kebaya putih juga seolah benar-benar mengaburkan usianya sejenak. Menendangnya jauh dan menghadirkan kembali Taeyeon dua puluh tahun yang lalu.

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang