Sembilan

526 116 34
                                    

Jeongguk

Gambaran soal kembang Udumbara mencuat di sela ingatan. Seolah membangunkan Jeongguk dari tidur lelapnya yang panjang. Meski ia bahkan tidak mengecap kantuk sama sekali dan belum terlelap menyusul Jimin di samping badan, ia tahu kalau ia tertidur. Menutup mata dari kenyataan yang sudah susah payah ia bangun. Secercah cahaya itu terang benderang. Sosok dalam ramalan itu nyata adanya. Berdiri dihadapan dengan tenang dan menunggu uluran tangan untuk dijamah. Jimin berdiri di sudut yang sama. Titik yang disiapkan Jeongguk untuk siapa saja bisa masuk. Kandidat mana saja yang bisa ia ambil dan jadikan patokan hidupnya sekali lagi. Untuk kali kedua, ia bakal merasakan lahir dan tumbuh dalam dekapan orang yang tepat, dengan kasih yang cukup. Entah Jimin atau bukan, Jeongguk sudah patenkan kalau ia tidak bakal bisa berkeliling dan mencari-cari lagi. Tidak dalam waktu dekat. Tenaganya terlampau berharga untuk pulang-pergi ke Besakih dan merapalkan doa. Cuma keyakinan yang menggerakkannya selama ini.

"Jeongguk?" Suara itu parau. Menembus udara kamar yang panas. Jimin sengaja tidak menyalakan AC karena suhu tubuhnya bisa kapan saja kembali demam. Biarlah Jeongguk dengan peluhnya dan langit-langit kamar sebagai kawan baik, sekarang. "Tidak tidur?" Di balik selimut, tubuh itu seakan menolak untuk melepas jaket bertulis We Love Animation milik Jeongguk yang didapatnya dari kantor.

"Belum mengantuk," jawab Jeongguk singkat. "Kenapa bangun? Mau minum?" Ia mencari ancang-ancang untuk bisa langsung berdiri tegap dan sigap.

Jimin menggeleng lemah. "Jatuh dari ketinggian."

Jeongguk terkekeh. Mimpi seperti itu memang teramat mengganggu. "Ndak enak, ya?" tanyanya. "Kalau masih mau tidur, tidur lagi saja."

"Kamu tidak mau ikut tidur?"

"Nanti, mungkin."

"Makhluk malam, kah, kamu?"

"Bisa dibilang begitu." Jeongguk manggut-manggut. "Sudah terbiasa karena pekerjaanku juga agak sibuk. Harus bisa kuat tahan ndak mengantuk sampai jam satu atau dua pagi."

"Aku mau tanya sesuatu."

"Tanya saja."

Dingin menyambangi pelataran kulit lengan Jeongguk yang sengaja disentuh oleh jemari-jemari mungil milik lawan bicaranya. Telunjuk itu menggurat garis tidak kasat mata dan cuma Jimin saja yang tahu apa yang telah ia tulis atau gambar. Entah apa yang mengganggu pikiran anak itu, sekarang. Beberapa detik berlalu tanpa kalimat penyokong yang jadi topik utama pembicaraan keduanya malam ini.

"Mau aku peluk?" tawar Jeongguk. Mencoba memancing kawannya supaya mau mengutarakan apa yang ia pikirkan. Kalimat tanya itu disambut dengan tindakan. Jimin meringkuk dan masuk ke dalam dekapan. Mencari-cari kehangatan yang sempat menguap dari tubuhnya beberapa detik lalu. "Nyaman? Kurang naik?"

"Nyaman, kok."

"Mau tanya apa?"

"Tapi janji kamu jangan marah."

"Tergantung pertanyaannya." Jeongguk bahkan tidak bisa berjanji pada dirinya sendiri. Menyanggupi berarti harus mampu memenuhi ekspektasi orang lain. Membeban lagi pundaknya. "Tapi kayaknya ndak."

"Aku cuma tidak enak saja kalau mau bertanya, sebenarnya."

"Daripada mengganjal, kan?"

"Iya, sih."

Jeongguk menunggu. Apapun nanti yang terlontar, paling tidak ia harus bisa mencernanya dari dua sisi. Tidak selamanya ia bakal dimakan api emosi yang entah kapan padamnya. Masa kekanakan itu sudah lama berlalu dan Jeongguk tidak mau lagi berurusan dengan ia sendiri yang baru ABG. Seperti mengasuh anak badung tidak tahu diri yang selalu kesana-kemari, tidak punya rumah. Sisi ini yang tidak akan pernah ia perbolehkan Jimin tahu. Kalau pun memang suatu ketika bakal terbongkar, setidaknya tidak dalam posisi mereka yang saling berpelukan.

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang