Tiga Puluh Sembilan

341 75 8
                                    

Rose

Bisa Rose rasakan kecupan di atas kening. Singkat dan sekilas. Usapan di atas surai menyertai setelahnya. Rose tahu betul siapa yang memperlakukannya terlampau spesial. Seseorang yang sudah menyandang status sebagai kekasih sosok yang tengah menyeruput teh di sampingnya. Sang pacar justru santai-santai saja sambil menerima ciuman singkah di bibir. Dari tabiatnya, keduanya seolah sadar bahwa apa yang Jeongguk lakukan adalah hal yang lumrah. Sedang Rose merasa justru seperti istri kedua yang keberadaannya tidak seharusnya ada di antara keduanya.

"Are you really out of your mind, Basuki? Your boyfriend is literally right beside me and you choose to kiss my forehead and kiss his lips after?" Rose bertanya-tanya. Sudah tidak peduli dengan mimik wajahnya yang entah sekonyol apa. Menuntut jawaban apapun yang dianggapnya masuk akal. "Jimin, jangan salah paham, ya. Aku ndak ada apa-apa, kok, sama Jeongguk." Ia menenangkan. Siapa tahu kalau kelakuan Jeongguk ini memang di luar nalar.

Jimin mengerjap-ngerjap lucu. Dibanding dengan Jeongguk, Rose justru berharap kalau yang mengecupnya adalah pemuda manis yang duduk sambil menenteng cangkir ini. "Aku?" tanyanya. "Kalian sudah aku anggap kayak keluarga. Jeongguk dan aku sudah pernah ngobrol soal ini dan aku bisa tahu gimana rasanya cuma punya satu orang di dunia yang bisa mengerti kamu. Jadi aku tidak masalah." Jawaban itu meluncur selembut yang punya suara. Manik matanya tenggelam dan berganti menjadi segaris bulan sabit serta senyum dari bibirnya yang ranum. Manis betul.

"Ke kenapa, Rose?" Jeongguk gantian bertanya. "Biasanya juga aku begitu, kan? Ndak ada yang aneh."

"Soleh, jeneng ci (Aneh, mukamu (mengumpat))," bisik Rose, "kalau dilihat orang, jadi aneh. Aku kayak jadi istrimu dan Jimin suami pertama kamu."

Jeongguk memandangi pakai manik kelam yang malas. "Ke berharap menikah sama aku, begitu?"

"Jijik." Rose bergidik ngeri. "Jadi mau apa kamu ketemu sama aku di cafe?"

"Bukan aku." Jeongguk menggeleng. "Jimin yang minta ketemu sama kamu," katanya, "dia mau tanya banyak hal yang aku ndak bisa jawab. Ke, kan, bisa menjelaskan lebih enak daripada aku."

"Jimin?" Manik kehijauan Rose berpindah pada pemuda manis yang masih saja mengumbar senyum. Ia belum bertemu dengan anak ini selepas kejadian di Puputan. Ajik Taehyung sibuk membawanya kesana-kemari setelah bisa membuka mata dan bangun sendiri. Setelah sampai di Tirta Empul, kembali ngayah di pura Puseh dan Dalem, barulah kali ini Rose punya waktu luang. "Ada apa? Tidak enak badan? Atau kenapa?" tanyanya sambil memastikan kalau Jimin punya dua tangan dan dua kaki yang masih lengkap. Tidak kurang satupun akibat kejadian heboh di Pupuran. "Ada yang mengganggu kamu? Orang Klungkung? Atau Jeongguk brengsek ini yang membuat kamu ndak nyaman?"

"Bukan, bukan." Kedua telapaknya menghalau beberapa kali. Membentuk gestur seolah apa yang diasumsikan Rose tidak ada yang benar. "Bukan soal Jeongguk atau masalah orang-orang di sekitar dia."

"You sure?" Rose berganti pandang antara Jimin yang merekahkan senyum dan Jeongguk yang sudah menghisap satu batang rokok lagi. Beberapa hari ini pemuda itu memang berubah jadi perokok berat. Aura di sekitarnya jadi menyatu. Sifat Jeongguk jadi membaur antara ramah dan murah senyum, tapi bisa membabat habis siapa saja yang menghalangi jalannya. Ini lebih mengerikan dari apa yang pernah Rose perkirakan. "Berhenti merokok, Jeongguk. Kasihan Jimin," katanya.

Tubuh Jeongguk cepat-cepat berserong dan memandangi kekasihnya. "Maaf ndak bilang. Aku merokok, ndak papa?" tanyanya.

"Iya." Jimin manggut-manggut. "Aku tidak pernah masalah, kok, Jeongguk."

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang