Tiga Puluh Satu

307 79 25
                                    

SeokJin

Riuh itu berhenti seketika. Senyap menyapanya seolah berkata kalau sudah saatnya tiba pergantian antara pagi dan malam. Kumpulan orang yang masih mendekam di tempat yang sama, tidak beranjak. Seluruhnya menatap lurus ke depan seolah ada keajaiban baru saja terjadi disana. Beberapa menahan napas dan beberapa menghela dengan penuh sesal. Akankah mereka benar-benar menyerah dengan Basuki setelah menyaksikan sendiri bagaimana wujudnya? Mungkin Jeongguk baru saja mempertontonkan sesuatu di depan. Yang tidak semua orang tahu kalau ia bisa. Dilihat dari sifatnya yang berkemungkinan besar tidak berubah, bisa saja anak itu mengutuk seluruh pulau atau bahkan melawan mereka satu persatu sampai tenaganya habis. Kemungkinan itu besar. SeokJin masih percaya kalau adik kecilnya tetap seegois dan sekeraskepala seperti waktu di Klungkung.

"Jeongguk." Jimin bergumam pada dirinya sendiri. Menyebut nama itu seolah ia sudah terbiasa memanggil Jeongguk setiap waktu. Mereka kelihatan dekat. Dari cara pemuda itu yang setengah memarahi SeokJin perihal ia yang masih mempertanyakan posisi Rose dan justru jadi tidak mengindahkan bagaimana nasib menanti adik yang sudah lama ia tinggalkan. "Jeongguk," panggilnya lagi, "Jeongguk." Kali ini jadi seperti orang yang merapalkan doa alih-alih cuma memanggil.

Sekitaran masih sama. Tidak ada yang tidak bergeming.

"Basuki." NamJoon ikut-ikutan menggumam.

"Kenapa dia? Mengamuk?"

Tidak ada jawaban berarti. Cuma deru napas saudara jauhnya yang kian memburu. Ia baru kali ini menyaksikan kembali Namjoon yang seakan-akan baru melihat musuh di ujung gerbang masuk. Manik keemasannya membelalak dan hampir-hampir bisa copot dari tempatnya.

Satu-satunya yang bisa SeokJin usahakan adalah memandang pada titik yang sama. Dimana bisa ia lihat ujung kain batik yang dijadikan Jeongguk sebagai udeng. Pelan-pelan mengeras dan ia tahu betul material apa yang menggantikan sosok adiknya. "Jeongguk," ucapnya juga akhirnya. "Jeongguk!" SeokJin membelah kerumunan. Tidak peduli telapak kaki siapa yang ia injak barusan atau soal fakta kalau ia jadi terlihat mencolok di sekitaran orang yang tengah menganga. "Jeongguk!" pekiknya lebih kencang.

Sekujur tubuh SeokJin bergetar hebat. Ketakutan ini mengelabui nalarnya yang kembali berfungsi beberapa menit yang lalu. Ujung jemarinya bergerak serampangan, tidak berirama. Telapaknya dingin menyentuh pelataran pipi sang adik yang telah menjelma jadi sebuah patung hyper-realistic. Begitu nyata dan inilah sosok Jeongguk sewaktu ia sembahyang. Tidak ada kerutan di ujung alisnya, tanda bahwa ia benar-benar ikhlas. Merelakan apa saja yang bakal kejadian. Adik bungsunya begitu tampan. Setidaknya wajah Jeongguk masih bisa ia ingat dengan jelas. Secerah gemetar jemari dan badannya yang sudah tidak bisa dikontrol.

Penyebab dari menghilangnya Basuki dan entah ia bakal kembali atau tidak adalah perang tidak berguna ini. Kalau saja ia datang lebih cepat. Tidak bakal mungkin ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri sang adik memilih untuk menyusul kedua kakaknya yang sayangnya, justru telah bangkit. Takdir seolah begitu kejam berkecamuk di sisi SeokJin yang nestapa. Cita-citanya kembali dipertemukan dengan Basuki terwujud, tapi mengapa harus dalam keadaan yang terburuk. "Jeongguk, Jeongguk," panggilnya lagi dan lagi.

Manik mata keemasannya berlinang. Tidak peduli dengan orang-orang yang menganggapnya aneh. Jimin duduk berlutut di hadapan sang adik yang sudah tidak bisa lagi menyambutnya. Mungkin bakal tidak bisa juga memeluk tubuhnya yang mungil. Hangat sikapnya juga menghilang. Semuanya terasa memuakkan.

Pelan-pelan SeokJin berbalik. Memandangi wajah siapa saja yang bisa ia tangkap pakai kamera luar biasa ciptaan Tuhan. Menyaksikan satu demi satu manusia yang telah menyudutkan satu turunan naga terakhir dan memperebutkannya bak piala yang harus dimenangkan. "Ke pasti yang mengundang mereka kemari. Iya, kan?" Kalimat itu meluncur seperti rapalan mantra. Dieja setiap katanya dengan seksama dan penuh dendam. Ujung telunjuk SeokJin menghardik perempuan berkebaya putih di hadapannya yang masih menggenggam sebilah tombak panjang.

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang