Tiga

572 113 21
                                    

Jimin

Pemuda dalam balutan kemeja putih, udeng senada, dan kamen itu kembali lagi. Kali ini membaui beberapa jeruk yang masih ia jinjing. Entah apa lagi yang dicarinya. Mungkin jeruk yang bisa awet disimpan sampai beberapa hari lagi.

"Mas, mas." Lelaki itu mengayunkan tangan. Mengundang Jimin untuk datang supaya bisa ditanya-tanyai perihal lain. "Ketemu lagi kita."

Jimin masih disibukkan dengan beberapa kotak susu sewaktu lelaki itu lewat. Lengkap dengan trolley yang ia dorong sendirian. "Mau beli sayur lagi, mas?" tanyanya sekenanya. Tidak mau mengambil resiko mendapat complain kalau ia tidak bisa melayani pelanggan dengan baik atau pakai wajah tidak mengenakkan. Surat Peringatan masih terasa pahit kalau disodorkan tanpa aba-aba.

"Mau tanya lagi. Kalau yang awet sampai tiga hari ada, ndak, ya, jeruknya?" Beberapa kantong jeruk di sodorkan pada Jimin yang lumayan terkejut. Alih-alih memintanya untuk berjalan ke rak buah-buahan. Pemuda ini membawanya kemari seorang diri. Benar dugaannya.

Satu persatu aroma segar yang kian memusingkan itu menyambangi penciuman. Jeruk memang punya bau yang membuat pikiran seakan kembali seperti bangun tidur. Tapi efeknya adalah pusing berkepanjangan kalau yang menghirup melakukannya terus menerus dan tidak berhenti untuk waktu yang lama. Dalam pikiran, Jimin sudah terhitung jeruk mana yang bisa dimakan satu minggu lagi, dua hari lagi, atau yang sesuai dengan apa yang anak ini mau. "Ini, mas," ujarnya sambil menarik salah satu jeruk yang ada. Berwarna oranye dan mencolok di mata.

Entah karena refleksi cahaya sekitaran atau Jimin yang salah lihat. Sejenak, pupil pemuda itu berubah menjadi kekuningan. Emas menyala seolah logam mulia. Sekelebat saja. Tidak lama. Mungkin cuma satu detik. "Kaget saya," katanya, "kalau yang ini ndak bisa, ya?" tanyanya seraya menyodorkan satu buah jeruk yang kemerahan. Jimin bahkan bisa rasakan manisnya tanpa mengecap di lidah.

"Itu sudah lumayan matang, mas. Kalau warnanya sudah begitu biasanya cuma tahan dua hari." Jimin pandangi permukaan berpori yang entah mengapa begitu menggiurkan. "Balik dari sini harus segera dimakan," tambahnya.

"Oh." Pria itu mengangguk mengerti. "Nak Bali?"

"Saya?"

"Iya."

"Bukan, mas." Jimin menggeleng sambil kembali menyunggingkan senyum ramah. "Merantau saya disini."

"Sudah kemana saja di Bali?" Langkah lelaki itu mendekat pada rak kotak susu yang baru saja Jimin tata. Membawa beberapa jenisnya ke dalam trolley untuk kemudian dibeli. "Biasanya kalau baru pertama kemari suka main-main ke pantai," ujarnya.

"Belum, mas." Jimin jadi kikuk. Perbincangan ini mengarah pada personal dan ia secara tidak sadar justru sudah membuka satu kartu yang harusnya ia tutup untuk dirinya sendiri saja. Kejanggalan itu anehnya tidak mengganggu. Tidak membuatnya melangkah menjauh atau memotong pembicaraan seperti yang lama ia lakukan. Beberapa detik juga membuat Jimin bertanya-tanya. Kira-kira darimana pemuda ini sampai Jimin bertemu dengannya hampir selalu dengan setelan putih-putih. "Saya belum ada waktu buat kemana-mana." Ia menambahkan.

"Ada shift, kan? Kalau kerja di market besar begini?"

"Iya, mas."

"Sebentar." Kalau dilihat dari dekat, Jimin bisa beranggapan kalau lelaki ini lebih ganteng dari banyak pemuda yang pernah ia temui selama ini. Hidungnya tinggi dan kedua matanya lebar. Bibirnya pas dan tidak kepenuhan. Rahangnya dipahat Tuhan seolah tahan hantaman. Ia kelihatan ada di usia dua puluh enam tahun dan sedang bahagia-bahagianya. "Mas namanya siapa, kemarin? Saya lupa."

"Jimin."

"Jimin," ulang lelaki itu. "Saya Jeongguk. Biar saling kenal saja. Kalau saya kemari juga biar ndak bingung mencari mas karena ndak tahu namanya. Lumayan kalau butuh buah buat banten."

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang