Empat Puluh Tiga

368 77 25
                                    

Batu, 2014

Jimin

Lampu kota berubah jadi titik-titik bintang yang dominan berwarna kekuningan. Dari tinggi beberapa kaki, Jimin bisa lihat banyaknya kendaraan yang lalu lalang. Beberapa spot jalan macet, atau sekadar lampu senter yang dibikin mainan bocah-bocah kurang kegiatan. Mengingat besok masuk masa liburan panjang.

"Minum?" Suara itu dekat sampai ke samping kuping. Alih-alih ketenangan dan meamanan, Jimin sedikit bergidik. Takut-takut kalau sang empu bukan cuma menyapa tapi juga melayangkan beberapa kalimat lain yang bakal membuat Jimin punya beban pikiran lan malam ini. "Kamu tidak lapar?" tanyanya.

"Belum," jawab Jimin. "Disini dingin, Eunwoo. Kamu tidak mau masuk ke penginapan saja?"

"Nanti, ya, Jim. Aku masih mau melihat suasana kota dari atas begini."

Jimin manggut-manggut mengerti. Memang ia yang lebih dulu sampai. Eunwoo masih harus memesan makanan ringan dan dua minuman hangat sebagai pendamping.

"Gimana perasaan kamu?"

Nah. Akhirnya pertanyaan itu datang. "Soal?"

"Yang tadi." Eunwoo lumayan sensitive dengan topic perbincangan yang menyangkut insan lain yang tidak sengaja menaruh rasa pada kekasihnya. Entah apa yang menjadikan laki-laki itu jadi mudah marah dan lumayan sering pakai nada tinggi. "Kamu juga tahu kalau aku tidak kenal sama dia. Felix, kan, teman kamu. Bukan temanku."

"Tidak menutup kemungkinan kalau kalian bakal kenal dekat dan sampai main belakang."

"Percaya sama aku," tegas Jimin, "yang kamu perlu cuma percaya kalau aku tidak akan aneh-aneh."

Eunwoo bungkam. Ia memilih memandang luruh ke depan.

"Jangan jadikan itu beban pikiran. Aku tetap bakal berjuang bersama dengan kamu. Aku tidak peduli siapa yang suka sama aku selama kamu disini."

"Terlalu banyak orang yang lebih baik dan layak buat kamu."

"Ya," aku Jimin, "tapi kamu yang aku mau. Bukan orang lain, Eunwoo."


Denpasar, 2018

Kediaman terasa lengang ketika ada di jam bekerja. Pemuda yang sepertinya masih belum bisa menerima kehadiran Jimin di hidup Jeongguk itu kelihatan tidak berisik dan melakukan aktivitas kesehariannya dengan khidmat. Berjalan kesana-kemari sembari menentegn sekotang biji jagung. Beberapa anak ayam mengikutinya dari belakang seperti induk yang memberi jalan. Jeongguk sempat memberitahu kalau laki-laki itu menjalin hubungan yang lumayan dekat dengan salah satu kakaknya, bli Seokjin.

"Sudah makan, Jimin?" Suara seseorang dari balik tubuh membuyarkan lamunan Jimin yang masih di ada di tempat lain. Berandai-andai kalau suatu ketika ia menjadi bagian dari keluarga besar yang sarat akan budaya ini. Menjalani hari-hari tentram tanpa hiruk pikuk suara klakson Surabaya. Membayangkannya saja sudah bias membuatnya senyum-senyum sendiri. "Aku ada bikin sayur bening di dapur, kalau kamu mau," tambahnya. Tercium aroma kembang kenanga dan segarnya embun pagi. Sedikit mirip dengan Jeongguk tapi sang kakak tertua punya aroma yang sedikit memabukkan. Lebih terasa dan kuat. Mungkin ini tipikal orang yang menjadi penanggungjawab kedua adik kecilnya.

"Sudah, bli."

Melihat Seokjin dalam balutan pakaian serba putih membuat Jimin ingat kalau dua orang kakak Jeongguk ini menjadi yang tertaat di antara ketiga turunan naga yang ada. Meski Jeongguk menjalin koneksi lebih kental, kedua kakak lelakinyanya yang seolah-olah melindungi koneksi itu supaya tidak putus. Mengayah tanpa pamrih dan tidak pernah sedikit pun mengeluhkan lelah. "Lama sekali aku mau ketemu sama kamu. Kata Jeongguk, kamu selalu sibuk."

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang