Tiga Puluh Dua

346 71 26
                                    

Namjoon

Batinnya bergemuruh. Inikah mimpi buruk yang selama ini menantinya dan mengapa ia harus dibangkitkan di situasi paling tidak memungkinkan? Seluruh ramalan buruk muncul di sudut pikiran. Soal masa depan Klungkung yang bisa saja muncul perang saudara atau bagaimana nanti kalau Kerajaan-Kerajaan yang lain ikut meminta upah atas apa yang telah mereka lakukan untuk menggusur penjajah. Dari seluruhnya, tidak pernah sekalipun terpikir bahwa masalah utama justru dibawa oleh Jeongguk. Adik lelaki yang kurang bisa diatur, yang ia bahkan tidak tahu bagaimana kabarnya sebelum dibangkitkan. Apa yang sudah anak itu perjuangkan, bagaimana pendidikan, profesi, atau masalah remeh-temeh soal kisah percintaan remajanya. Bayangan masa depan indah itu hancur. Pecah berkeping-keping bak sepiring nasi yang dilempar di atas ubin lantai dapur. Tidak berbentuk dan ia sudah tidak mampu mengenali mana yang nasi dan mana pula yang serpih keramik.

Kakak tertuanya bernasib hampir serupa. Ia yang telah sekuat tenaga menahan Jeongguk untuk tidak naik pitam justru jadi pemicu beberapa orang hilang nyawa. Prioritas utamanya memang masih keselamatan sang adik bungsu. Tapi kali ini, lelaki itu benar-benar hilang kendali diri. Fokusnya masih pada ancaman dari segala sisi. Sesuatu yang tidak di sisi Basuki adalah sebuah ancaman. Baik itu pihak netral sekalipun. Ini gawat. Jika dibiarkan, mereka tidak bakal bertemu dengan titik nol. Kejernihan berpikir tanpa satu emosi pun terkandung di dalamnya.

"Jimin," panggilnya pada pemuda yang masih meratapi nasib kawannya. "Boleh aku minta bantuan?"

Yang punya nama tidak menjawab.

"Tolong tunggangi bligungku. Bawa dia keluar dari sini. Biar aku yang nego sama orang-orang."

"Mau nego apa lagi?" Suara pemuda yang ada di umur sekitar dua puluh tujuh tahun ini pecah. Serak. "Kalau sudah nego, apa Jeongguk bisa balik seperti semula? Apa dia bisa napas dan makan kayak biasanya?" Lelaki ini ikut-ikutan memandang sekeliling dengan murka. Sorot mata kecoklatannya menggelap. Namjoon tahu kalau ia tidak bakal bisa memaafkan apa yang telah diperbuat seluruh wilayah pada Jeongguk. "Siapa yang bisa janji kalau Jeongguk bisa bangun dan bilang kalau semuanya bakal baik-baik saja dan orang-orang bubar pulang ke rumah?"

Tidak ada, sayangnya. Namjoon juga tidak bisa menjanjikan hal paling mustahil dan justru berpotensi melontarkan dusta yang tidak bakal bisa diampuni. Sebuah pengharapan palsu yang berujung tragis.

"Sepertinya agak telat, Bam, kita kemari." Suara lain muncul dari kerumunan. Membelah kumpulan orang yang awalnya merapat dan tidak memberi jarak satu sama lain. Ia yakin, dari dua orang yang berjalan beriringan pastilah punya koneksi dengan Basuki atau Klungkung. Terbukti dari keberanian dan kemantapan keduanya berjalan mendekat.

"Bli kenal sama mereka?" tanya Namjoon yang tidak bakal bisa terjawab sampai kapanpun.

"Swastiastu, bli SeokJin." Satu diantaranya bergumam. Punya wajah hampir mirip dengan Jimin dengan bibir tebal dan sepasang mata sayu redup. Setelan putih dari kamen dan udeng menandakan kalau ia satu dari jajaran orang Bali yang entah bagaimana bisa berlumuran darah, tapi tidak mati. Sesuatu pasti baru saja terjadi padanya. Terbukti dari tabiatnya yang pelan-pelan mendekat dan berusaha mendaratkan telapak tangan di atas jajaran kulit keras naga milik sang kakak sepupu. "Maaf karena lama menemui bli."

Di sela tangis, Jimin berbalik. Tubuhnya menegang memandang satu orang lain yang sekarang dengan memunggungi Jeongguk dan menghadap ribuan orang yang baru saja menghakimi adik bungsunya. Wajahnya tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menyerang atau menyerah dan pulang. Ia cukup berdiri dengan sepasang kemeja hitam, kamen dan udeng batik. Seolah ia tahu kalau Basuki memang hendak menjemput ajalnya sendiri.

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang