Tujuh Belas

539 91 52
                                    

Jimin

Langit-langit kamar serasa berputar sewaktu Jeongguk mengangkatnya tinggi. Meski berakhir di dalam gendongan, Jimin tetap saja ambruk dan sudah tidak punya tenaga lagi barang untuk bernapas saja. Beberapa kali harus tersedak ludahnya sendiri yang berniat membasahi mulut supaya tidak berakhir kekeringan.

Sosok yang mengangkatnya tidak berubah. Kedua manik matanya menyala keemasan. Sudah mirip seperti mata kucing di tengah kegelapan. Surai lepek Jeongguk disibakkan beberapa kali oleh pemiliknya ke belakang telinga. Ikal dan mirip seperti orang sehabis keramas tapi malah tidak dikeringkan pakai handuk. Di bawah cahaya minim seadanya dari ventilasi ruangan, Jimin masih bisa menerka-nerka susunan jaringan otot, nadi, dan tulang-tulang kokoh itu membentuk tubuh Jeongguk selayaknya atlet yang siap ikut lomba besok. Fit dan mumpuni menanggung beban kalau-kalau dibutuhkan berlari, merangkak, bahkan menunjukkan lompatan paling tinggi sekalipun. Beberapa kali mereka bereaksi di balik kulit sewaktu Jimin mengusapnya perlahan. Menikmati apa yang disuguhkan.

Ia beruntung diberkahi penciuman super dan mata sehat yang masih bisa memastikan kalau sepasang kaos dan celana santainya ada di atas lantai. Berserakan dan bertumpuk dengan beberapa kain apa saja lainnya. Jeongguk agaknya suka membaca. Tidak pernah terlihat dari pribadinya dan mungkin memang sengaja tidak ditunjukkan. Dari susunan buku sastra dan beberapa materi pelajaran, ia seakan hendak mengajar di kelas saja alih-alih jadi supervisor animator di kantor. Ketimbang keduanya, Jimin lebih memilih kalau pemuda itu disini bersama dengannya. Menemaninya dan sudi memberi surga dunia yang selama ini diidamkan siapa saja. Entah sudah berapa orang berandai ada di posisinya dan berharap kalau Jeongguk datang. Meski cuma ke alam mimpi, itu lebih baik dari tidak sama sekali.

"Ada yang sakit?" Suara Jeongguk bergemuruh. Hampir-hampir seperti guntur yang terendam awan. Berat dan mengagetkan siapa saja yang dengar, termasuk Jimin sendiri. "Kalau ada, tolong bilang, ya." Kecupan ringan menyapu pelataran pelipis Jimin yang syarat akan peluh. Menetes tidak terkendali sebagai bentuk protes kalau tubuhnya sudah terlalu panas dengan suhu ruangan yang ada.

Sebagai jawaban, Jimin menggeleng. Memang begitu adanya. Sedari awal, Jeongguk tidak pernah menyakitinya sama sekali. Bahkan terlampau lembut dan penuh perhitungan. Mulai dari jajaran jemari itu yang menanggalkan pakaian, sampai memberi kepuasan. Semuanya sama-sama menenangkan. Aman. Seakan ini yang dikais oleh Jimin beberapa tahun yang lalu. "Tidak sakit, kok," bisiknya pelan. Gemas betul melihat sosok dengan tubuh gempal tapi berlaku seolah ia tengah menggenggam cermin tipis. Bisa mudah jatuh dan kapan saja pecah kalau terlalu erat dipegang.

"Tapi aku belum selesai. Bagaimana?"

"Belum?" Jimin memastikan kalau tidak salah dengar. "Empat kali belum cukup, kah? Ini berpengaruh, tidak, dengan kamu? Takutnya, nanti justru bukan sembuh tapi malah makin sakit."

Sepasang taring Jeongguk yang panjang, mengucap halo dari balik bibir. Senyum tulusnya menenggelamkan kedua manik mata yang masih sewarna logam mulia. Seolah bersembunyi di balik semak terlebih dahulu sebelum memulai keliling lapangan kenikmatan. "Justru ini obatnya," kata Jeongguk.

"Jangan bercanda, deh."

"Serius."

"Memangnya ini disebutnya sakit apa?"

"Ini disebut masa kawin."

Semburan tawa tidak bisa lagi Jimin bendung. "Kayak reptil," ucapnya.

"Sejenis." Tidak tersisa kebohongan atau sekadar ingin menggoda di kalimat itu. Selain keseriusan, Jimin rupanya lumayan alergi dengan pembicaraan yang butuh berpikir sewaktu bercinta. Tidak enak sama sekali. Semakin ia berkonsentrasi, semakin buyar semuanya. "Kenapa? Takut? Kamu merinding." Oh, seandainya Jeongguk tahu kalau bukan cuma perangainya yang membuat Jimin merinding. Tapi semua aspek yang menempel pada tubuh pemuda yang tanpa mengenakan sehelai kain pun ini. Mulai dari suaranya yang entah kenapa jadi serak dan berat, manik matanya yang berpendar tanpa gerakan berarti pada tubuhnya. Beberapa kali, Jimin mendapat tatapan yang Jimin yakini adalah tatapan sinis. Asalnya dari atas dan Jeongguk memandanginya seperti orang memincing tidak suka. Seribu satu jawaban coba Jimin pikirkan soal mengapa ia jadi seperti murid yang kena marah gurunya alih-alih seseorang yang hendak pemuda ini puaskan.

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang