Lima

539 110 24
                                    

Jimin

Sesi menelpon orang tua di rumah sudah ia lakukan. Tinggal bersih-bersih kamar kos saja yang tersisa. Jeongguk bilang kalau bakal menjemputnya pukul tujuh malam, hari ini. Bukan untuk makan ayam yang diolah bumbu ringan seperti apa yang pernah ia tawarkan pada Jimin di Transmart. Laki-laki itu katanya punya urusan dengan orang Ace Hardware. Entah perabotan apa yang hendak ia beli atau kembalikan ke tokonya. Jimin pribadi belum pernah diajak Hoseok keliling Bali. Jadi tidak tahu dimana tempat toko-toko tertentu bahkan mall apa saja yang ada. Kesehariannya bak mahasiswa kupu-kupu yang selesai kuliah langsung pulang. Bedanya, Jimin selepas kerja. Meski kadang sudah meminta Hoseok untuk menemaninya ke tempat mana saja yang sekiranya jadi pusat Bali di sekitaran Denpasar, jadwal Hoseok yang padat seperti tidak bisa diganggu gugat.

Telepon genggamnya berdering beberapa kali. Tanda kalau itu panggilan masuk alih-alih notifikasi chat.

"Halo?"

"Swastiastu, Jimin." Suara di seberang sana kedengaran lebih berat. Tapi Jimin masih bisa kenali Jeongguk disela geram yang pemuda itu tahan-tahan. "Maaf kalau terlambat menjemput, ya. Aku ndak  sengaja ketiduran." Decit kasur atau kursi yang menopang tubuh Jeongguk ikut-ikutan menyahut.

"Tidak apa-apa, Jeongguk. Aku juga mau beberes kamar dulu," kata Jimin, "tidak perlu buru-buru." Kenyataannya memang ia tengah sibuk dengan satu sapu dipelukan. Berhenti sejenak ketika telfon genggamnya berdering lumayan kencang. Takut-takut mengganggu tetangga kamar kosnya kalau tidak segera diangkat.

"Share loc alamat kost kamu, ya. Biar aku bisa berangkat sekarang."

"Tidak rapi-rapi dulu?"

"Sudah rapi, kok." Muncul pula suara gemerisik kresek di seberang telpon. Mungkin Jeongguk sedang membuka sesuatu dari dalam kantong. "Suaraku masih seperti orang baru bangun tidur, ya?"

"Ya, sedikit," aku Jimin, "jangan dipaksakan datang cepat-cepat, Jeongguk."

"Ndak apa-apa. Sudah biasa bangun diburu-buru." Kekehan ringan menyempurnakan kalimat candaan itu. Tapi berbanding terbalik dengan apa yang Jeongguk mau, sepertinya. Jimin jadi merasa makin sungkan karena merepotkan. Ia jadi tidak nyaman ada di situasi yang serba salah. Antara tidak mau Jeongguk datang buru-buru karena bisa membahayakan dirinya sendiri dan Jeongguk yang mungkin butuh ke Ace Hardware karena ingin segera menyelesaikan urusannya. Ini membikin pening.

"Takut kalau kamu menyetir nanti masih mengantuk, sih." Ia jadi berakhir dengan kalimat menenangkan diri sendiri yang ambigu pula.

"Aku ndak ada niatan menabrakkan anak orang, kok." Gemerisik keresek akhirnya berhenti setelah Jeongguk kedengaran tengah memakan sesuatu. Bermuluk-muluk seperti tidak ada waktu lain untuk mengisi perutnya yang mungkin memang benaran kosong. "Aku berangkat sekarang, ya?"

"Iya. Hati-hati, pokoknya."

Butuh sekitar lima belas menit untuk Jeongguk sampai dengan motor scoopy yang diparkir di halaman kost. Jimin bisa lihat siluet pemuda itu dari balkon lantai dua kamar kostnya. Rapi betul dari atas kepala sampai kaki. Tertata dengan wajah yang segar khas baru dibasuh dengan air. "Ketemu juga, akhirnya." Jeongguk berujar.

"Masuk, Jeongguk. Maaf kalau berantakan." Sapu yang semula masih dijinjing buru-buru diletakkan di balik lemari. Sebisa mungkin, tidak ia izinkan suasana canggung menguasai dirinya di kediaman yang telah ia jadikan rumah kedua ini. Dilihat-lihat juga ia tidak punya alasan kuat untuk awakward. Kamar kosnya bersih dan lumayan tertata. Dengan satu set kasur, bantal, dan guling. Kamarnya juga punya satu meja kayu, kursi, dan televisi kecil. Cukup untuknya menghibur diri kalau tidak punya siapa-siapa yang ia ajak bicara. "Cuma ke Ace saja, kan? Tidak kemana-mana lagi?"

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang