40 - Confused

4.4K 598 58
                                    

Nini tidak mengangkat telepon dari Abel, bahkan tidak membalas pesannya, bahkan tidak memberi kabar apa pun.

Ia yakin seribu yakin, pria itu tengah marah sekarang. 

Namun yang lebih mengkhawatirkan daripada itu adalah, dirinya sendiri. Terutama ketika mendapat panggilan telepon dari Vania dan ia tidak bisa tidak menerima.

Setelah mendorong sajian breakfast hotel yang berupa roti panggang, sereal dan buah potong, ia berdiri menghadap pintu balkon.

"Van," sapanya pelan.

"Gue rasa gue udah cukup ngasih waktu buat lo nenangin diri, sekarang cerita lo kenapa?"

Suara Vania yang tegas, mengingatkan Nini pada masa-masa sulitnya dulu, dan hanya wanita itu yang bisa ia percayakan untuk berbagi cerita.

"Gue ... gue hamil."

Terdengar embusan dapas dari seberang.

"Go on."

Nini menggigit jari, menatap hamparan laut yang berhadapan langsung dengan hotel.

"Gue belum merasa siap sama semuanya. Gue ... gue merasa kehamilan gue yang sekarang bikin gue depresi dua kali lebih parah dari sebelumnya."

"Hmm."

Jika saja ia bersama Vania sekarang, ia akan dapat melihat wanita itu mengangguk mendengarkan. Kemudian setelah semuanya terasa jelas, ia akan memberi pendapat.

"Terlepas dari masa lalu gue yang bikin gue takut punya anak, gue lebih khawatir sama masalah yang akan tetap nyeret-nyeret gue di masa depan."

"Nini," panggil Vania kemudian. "Kasih tau ke gue ketakutan utama lo apa."

"Gue frustrasi. Masalah gue banyak. Oke, gue tau gue sekarang punya orang yang bisa gue ajak bertukar cerita. Gue bisa cerita apa pun ke dia tentang apa yang gue alami. Tapi gue yakin seratus persen bahwa sebanyak apa pun gue berkeluh kesah, cuma gue yang ngerti permasalahan gue, dan pada akhirnya gue yang akan nyelesain itu semua."

"Lo percaya sama diri lo sendiri mengenai itu, kenapa lo nggak percaya diri juga kalau lo bisa punya anak dan merawat dia sama seperti yang lo lakuin ke anak-anak orang lain?"

"Itu profesi gue."

"Dan lo melalui segalanya dengan baik."

"Karena gue harus. Segakbisa apa pun gue, gue tau pekerjaan gue menuntut gue untuk harus bisa."

"Lo bisa itu yang perlu gue tekankan."

"Van..." Nini mendesah frustrasi. "Gue gampang kedistract sama hal-hal negatif, gue gampang lengah. Gimana kalau misalnya saat gue mengandung berbulan-bulan dan gue punya masalah besar yang bikin gue beralasan nggak mau ngandung 'dia' lagi? Gimana kalau gue berakhir punya pemikiran lenyapin dia sama kayak yang pernah gue lakuin di masa lalu gue?"

"Nini stop, stop overthinking. Yang perlu lo ubah dari diri lo adalah mindset lo. Okay, not that simple, tapi jalani seiring waktu. Poin pentingnya adalah, kalau lo aja bisa bikin anak orang yang bahkan nangis sama orangtuanya tapi sama lo nggak, lo juga bisa melakukan hal itu sama anak lo kelak. Kalo lo bisa ngajarin orang-orang gimana caranya merawat anak yang benar, gimana cara nyusuin segala macem, lo juga bisa. Stop mikir gimana kalau gue ini, gimana kalau gue itu. Jalanin. Lo hanya punya peluang kalau lo berusaha. You got it?"

Nini menyeka air matanya yang membasahi pipi. "Vannnnn."

"Kalau gue di sana, gue udah peluk lo! Makanya pulang!"

Sambil mengusap hidung, Nini terkekeh. "Masih mau liburan."

"Helehhhh. Balik cepetttt."

"Ck, iya. Sehari lagi, sayang cuti gue."

WIFEYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang