74. SEBUAH TAKDIR TUHAN [New Revisi]

704 66 21
                                    

74. SEBUAH TAKDIR TUHAN

Happy reading. Semoga puas. Aamiin.

"Perihal meninggalkan akan tetap menjadi kekhawatiran terpahit dari yang pernah ada. Mengenggamnya akan terasa sia-sia."

.
.
.

Sore selepas hujan yang menguyur bumi itu tampak suram. Menyembunyikan sinar senja dalam awan yang bewarna abu-abu. Di atas bukit dan dibawah pohon rindang. Ada sepasang sejoli sedang merebahkan diri disebentang alas piknik. Dengan perut si cowok yang menjadi bantalan kepala seorang cewek. Mereka sama-sama memejamkan mata. Menikmati semilir angin sore yang menenangkan diri.

Di samping mereka juga ada beberapa bungkus makanan yang di beli sebelum mereka kesini. Menghabiskan makanan bersama dan berakhir dengan merebahkan diri. Menikmati kebersamaan yang tertinggal beberapa waktu karena sibuk dengan urusan masing-masing.

Alfero membuka mata setelah beberapa menit terpejam. Tangannya merambat ke rambut halus milik Marafia. Memainkan rambut hitam itu sambil melamun. Menatap kosong ke arah burung-burung yang bertengger manis di atas pepohonan.

"Boleh gue tanya sesuatu?" tanya Alfero kepada Marafia yang nyaman tidur berbantal perut kerasnya.

Marafia ikut membuka kedua matanya dengan perlahan. Kepalanya mendongak menatap mata hitam Alfero yang menyendu. Menyiratkan banyak arti yang sulit di jelaskan. "Boleh, mau tanya apa?"

Sejenak ia terdiam. Menimang-nimang kata yang pas untuk di tanyakan kepada Marafia yang menunggu dengan sabar. "Apa yang lo lakuin kalau seseorang dalam hidup lo pergi?" tanya Alfero cepat sambil mengalihkan pandangan. Menghindari mata Marafia yang melebar, kaget. Dia tahu maksut dari kalimat yang Alfero tanyakan tadi. Tapi kali ini izinkan gadis itu pura-pura tidak tahu. Hanya untuk menjaga hatinya agar tidak patah.

Marafia mengerjapkan mata beberapa kali. Sebelum membalas pertanyaan Alfero. "Maksut kamu?"

"Jangan pura-pura nggak tahu."

"Aku emang nggak tahu apa yang kamu maksut. Bisa jelasin biar aku paham?" elak Marafia sambil meminta Alfero menjelaskan maksutnya.

Cowok itu menghela napas. "Lo tau kan, waktu setiap orang itu nggak banyak. Seperti daun itu, dia akan gugur seiring berjalannya waktu." Alfero menunjuk daun yang tertiup angin. Setelahnya daun itu turun tepat di dada Alfero. Tangannya tergerak mengambil daun itu. Dia meremas pelan daun berwarna coklat itu dalam genggaman.

"Saat angin berhembus meniup daun hingga jatuh. Daun nggak pernah membenci angin yang menjatuhkannya," lanjut Alfero pelan. Dia menarik napas dalam-dalam saat merasakan dadanya mulai menyempit.

Kemudian cowok itu bangun dari tidurannya. Duduk menyandar pada pohon sambil memangku kepala Marafia di paha. Mata mereka beradu. Saling menatap dengan perasaan yang sulit di jelaskan. "Sama kayak gue... Jangan benci gue saat gue gugur nanti," ucap Alfero dengan pandangan lurus kedepan, menatap secercah harapan semu yang menjadi bayang-banyangnya.

Seolah tersadar Marafia bertanya ditengah sakitnya sebuah rasa.

"Jadi, kamu tega ninggalin aku setelah apa yang kita lalui? Se-gampang itu kamu bilang jangan benci saat aku berharap lebih ke kamu?" Marafia mendesah kecewa setelah mengetahui maksut dari ucapan Alfero. Ada rasa sesak di dada saat mengetahuinya. Dan Marafia akan kehilangan untuk sesuatu yang tidak pernah menjadi miliknya.

Hanya untuk menemaninya sebentar bukan selamanya. Hanya untuk menjadi teman biasa. Bukan teman hidup. Dan bisa saja Alfero menganggap Marafia sebagi dokter yang menangani pasien yang sedang sakit. Bukan orang yang melengkapi saat mereka terluka. Karena menurut Alfero ada yang lebih dari ini, dari mereka.

ALF ||FRCZ 201 [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang