Chapter 4 : Cara

737 53 22
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh ...

––––––––––––––

Bagaimana aku tidak tertarik pada mu. Kalau kamu juga tidak tertarik dengan yang lain. Dan itu adalah salah satu daya tarik ku.

Revisi bab 4 : Selesai!

–––––––––––––––

Demi melupakan perkataan menyakitkan Asrar, Halwa tak langsung pulang membawa motornya. Malam-malam seperti ini, dia memilih mengelilingi pusat kota Karawang. Di sini, di kota orang lain, Halwa sendirian. Tak ada kerabat yang Halwa kenal di sini, kedua orang tuanya juga tidak pernah mengatakannya. Perutnya lapar, baginya tak ada makanan yang sesuai untuknya di rumah makan Asrar. Besok-besok juga, Halwa akan masak untuk makanan nya sendiri yang sehat dan tidak meningkatkan gula darahnya.

Tujuan awalnya pindang ke kota Karawang hanya untuk mengunjungi Deva, sahabat virtualnya yang tinggal di sini. Selebihnya, Halwa sudah mendapatkan pekerjaan yang dia mau, dan bisa melakukan masa perawatan nya di rumah sakit kota ini.

Di sana, di kota asalnya. Halwa pun sudah menebak apa yang dipikirkan orang tuanya. Mereka mengira bahwa Halwa menghamburkan uang dengan liburan. Hanya itu yang mereka selalu pikirkan setiap Halwa pergi berobat ke rumah sakit dan dirawat selama berhari-hari, ketika penyakit nya kambuh, entah itu karena drop atau tingginya gula darah naik.

Angin malam begitu membuat Kerudung nya terangkat ke udara, membawa segala pikiran yang begitu banyak dalam otaknya.

Halwa suka malam, Halwa suka bintang dan bulan. Dia tidak takut kegelapan, karena masa kecilnya juga penuh dengan kegelapan. Sendirian dan menghadapi ketakutan tanpa ada pelukan hangat yang menemani.

"Halwa!" panggil seorang wanita yang melambaikan tangan kepadanya.

Motor Halwa berhenti didekatnya. "Kok lo belum pulang?"

"Belum, gak tahu pulang pakai apa. Gue nebeng, ya. Kita kan searah." Belum sempat mendapatkan persetujuan Halwa, Deva naik begitu saja di belakang Halwa.

"Lo gak pakai helm?" tanya Halwa sebelum menghidupkan motor nya.

"Enggak, kan helm nya ada satu. Itu juga punya lo."

"Nih pake." Helm yang semula tidak dipakai, Halwa berikan pada Deva.

"Lah, lo gimana. Kalau kecelakaan gimana?" Pikiran Deva sudah jauh sampai sana.

"Gak bakal, lo pakai aja. Gue sumpek kalau pakai helm. Kalau kecelakaan dan waktu nya mati ya mati," ucap Halwa sangat enteng. Itulah pandangan nya, kalau ditakdirkan mati ya mati, tidak peduli mau pake barang pengaman apapun. Dan itu, namanya sudah takdir.

Malas berdebat panjang, Deva menerima helm Halwa dan memakai nya. Setelah itu motor pun berjalan.

Tentang Deva, entah Halwa harus bagaimana. Deva orangnya percaya atau tidak pada Halwa tentang penyakit itu. Tapi, Halwa meyakinkan kalau memang Deva mempercayai nya.

[••••••]

"Asrar! aku kan udah bilang, jangan deket-deket cewek lain!" Suara dari sikap ke posesif Halwa terdengar kembali. Terdengar alay, tapi itulah Halwa.

Aku yang tak dipercaya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang