Chapter 7 : Aku tak ingin Jauh

721 48 3
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh ...

[•••••]

Seperti layaknya angin yang mengenai siapa pun dan di mana pun, dan memilih untuk tinggal sementara di salah satu tubuh manusia. Seperti aku juga yang selalu berbohong kepada siapapun dan di mana pun, dan memilih untuk tinggal sementara dengan kamu.

Tapi aku ingin tetap tinggal selamanya. Namun, seperti nya angin tidak bisa, karena begitu banyak obat penangkal untuk mengusirku dari tubuhnya.

Revisi bab 7 : Selesai!

–––––––––––––––

"Siang-siang bolong enaknya makan mie kuah. Hei ganteng! boleh dong aku ajak nikah ke KUAH." Sebelah alis Halwa naik turun ke salah satu pelanggan laki-laki kuliahan. Halwa membuat pantun yang langsung keluar dari mulutnya, dan dibalas sorakan mendukung dari beberapa pelanggan yang makan.

"Sok dilanjut deui pantun na. Rame euy." Ibu-ibu menyahuti dan memberi dukungan. ~ (Silakan dilanjut lagi pantun nya. Ramai ya)

"Siang bolong dapat minum jamu si Kenan. Saya mau dong dapat menemani mu sampai ke pelaminan," lontar pantun dari Pria yang seumuran dengan Halwa juga.

Sebuah sorak-sorak terus terdengar. Halwa tertawa dan malu-malu karena mendapatkan pantun itu. Halwa bahagia, dari pagi banyak sekali orang yang membuat bibirnya terus tersenyum.

"Tapi maaf nih, saya udah punya calon suami," kata Halwa melirik-lirik ke Asrar yang sibuk membantu mengantarkan makanan-makanan ke pelanggan. Matanya menyiratkan rasa kekaguman kepada Asrar. Laki-laki itu begitu memesona, kedua sudut bibirnya yang jarang tersenyum, kini tertarik membentuk lengkungan, sesekali giginya terlihat. Senyuman Asrar membuatku mabuk kepayang.

"Oh yang itu toh, mbak?" Seorang bapak-bapak menunjuk ke arah Asrar.

"Iya, pak."

"Cieee ..., kapan nikah nya nih? boleh dong dapat diskon makan di sini?" Pertanyaan itu diucapkan oleh pelanggan perempuan yang lainnya.

"Ya saya gak tahu, tanya aja sama calon suami saya. Dia kan yang punya nya," jawab Halwa malu-malu. Dia menggigit bibirnya, menahan sudut bibirnya yang akan terus selalu tersenyum.

Asrar hanya diam, kalau membalas apa yang dikatakan Halwa, dia akan sama saja. Dan pastinya, semua pelanggan yang ada di sini membela Halwa. Karena, Halwa lah yang paling dekat dengan pelanggannya.

"Yah, mbak. Calon suaminya cuek, siap-siap aja makan ati."

"Bukan," sanggah Halwa, "Dia itu malu-malu."

Dari jam sepuluh pagi sampai sore hari, pelanggan terus berdatangan tiada henti. Halwa bukan cape memasak saja, dia juga harus ikut serta ke depan supaya pelanggan nya betah dan ingin terus berkunjung ke rumah makan Asrar. Rasa cape Halwa berlipat ganda, kadang dia juga merasa pusing sambil memegang erat barang-barang yang ada di sekitarnya.

Tapi sekarang, Halwa tengah duduk di kursi yang ada di dapur, dia akan beristirahat dahulu sejenak untuk memikirkan dirinya juga. Meja kayu yang di depannya sudah ada tas berisikan suntikan yang harus Halwa bawa. Kapanpun di mana pun, tas itu akan selalu dibawa tanpa tertinggal.

Karena kepalanya juga pusing, Halwa meminum obat yang sudah disediakan. Obat itu tertelan dilanjutkan dengan segelas air untuk mendorong obatnya agar berjalan ke dalam.

Aku yang tak dipercaya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang