Chapter 6 : Curhatan Halwa

857 53 7
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh ...

Tadinya mau update banyak, tapi agak malas karena dari sore sibuk bantu-bantu mengurus rumah dan jualan jagung untuk tahun baru.

Oh ya, apa harapan kalian di tahun 2022? apakah sudah berdua dan gak sendiri lagi?

Revisi bab 6 : Selesai!

[•••••]

"Kalau kamu gak mau lihat aku dan kamu ingin aku pergi jauh, bagaimana aku mati nanti. Kamu bahagia atau tidak?" tanya Halwa.

"Kayaknya kamu mau banget mati. Kenapa? agar orang lain iba, dan percaya pembohong seperti kamu?" Bukan jawaban ini yang Halwa ingin dengar, justru Asrar semakin menambah rasa sakit dihatinya dengan kata-kata baru lagi.

"Bukannya aku ingin mati. Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati, aku hanya takut, Asrar. Di saat orang-orang tidak percaya sama aku, bagaimana nantinya kalau semua sudah terlambat. Aku ingin dipercayai." Jangan sampai Halwa menangis di depan Asrar. Malah, itu akan membuat Asrar semakin tidak mempercayai nya.

"Susah buat percaya sama kamu," ucap Asrar menegaskan jawaban dari ucapan-ucapan Halwa. Melihat perempuan yang selama ini Asrar pertanyakan di hatinya, sekarang sudah ada di depannya dengan kebohongan baru. Sudah cukup, Asrar tidak akan menjadi korbannya lagi.

"Setidaknya kalian bisa pura-pura–"

"Ini yang menjadi saya gak percaya sa kamu. Disaat kamu ingin dipercayai, kamu malah meminta agar orang-orang disekitar kamu untuk pura-pura percaya. Bukannya itu sama berbohong juga?" tanya Asrar. Helaan napas nya terdengar kala melihat wajah Halwa yang tertunduk. Asrar tahu, Halwa menahannya tangisannya.

"Halwa ... kita gak sama seperti kamu," lanjut nya lembut.

Gara-gara ucapan Asrar barusan, Halwa tersadar. Dia salah mengambil langkah. Iya, Asrar benar, seharusnya Halwa tak boleh membiarkan agar orang-orang pura-pura. Seharusnya, orang-orang harus mempercayai nya sepenuh hati, tak ada kata pura-pura untuk membahagiakannya. Halw jadi malu sendiri, dan semakin bersalah.

"Maaf, tapi bagaimana agar kalian bisa–"

"Susah Halwa, susah!" tekan Asrar, "kamu gak tahu sudah berapa banyak orang yang menjadi korban kebohongan kamu yang keterlaluan, termasuk saya juga."

"Asrar, aku sudah berubah. Sekarang ini aku berkata jujur," ujar Halwa.

"Gak tahu–"

"Tolong jawab pertanyaan aku yang diawal, Asrar!" pinta Halwa sedikit memaksa. Kedua matanya sudah memerah menahan air mata yang ingin sekali terjun dengan derasnya.

"Buat apa saya bahagia, saya gak memiliki dendam sama kamu. Saya hanya gak percaya kamu saja, dan buat apa saya gak bahagia, kamu bukan siapa-siapa saya. Jadi, matinya kamu tidak berpengaruh bagi saya," jawab Asrar tanpa jeda dan di setiap katanya seperti belati tajam yang menusuk ke hati Halwa. Sakit, rasanya sangat sakit.

Apa seperti itu, kata-kata orang yang Halwa cintai. Walaupun Asrar mengatakan tak membencinya, tapi bagi Halwa Asrar sangat membenci dirinya, terlihat dari sikapnya.

*****

Untuk kesekian kalinya Halwa tertawa miris ketika perkataan dari jawaban Asrar terngiang-ngiang dipikirannya. Seakan syaraf-syaraf otaknya menyuruh untuk mengingat terus hal itu.

Halwa pulang sendirian membawa motornya. Setelah percakapan itu dan beberapa jam menuju kepulangan, Halwa tetap menjadi Halwa di pertama. Dia tetap ceria tak peduli kalau Asrar cuek bebek kepadanya. Melupakan percakapan itu sementara lalu teringat kembali sekarang.

Aku yang tak dipercaya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang