Chapter 22 : Kemarahan

720 39 3
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh ...

–––––––––––––––

Bertahan untuk menerima keadaan yang terlanjur rumit itu sulit.

Revisi bab 22 : Selesai!

–––––––––––––––

Selamat membaca

Halwa ketar-ketir setelah bersiap segala macam mengurus tubuhnya. Tadi subuh, dia baru saja pulang dari rumah sakit. Karena ketiduran lagi, Halwa sampai kesiangan dan waktunya tidak banyak.

Rendi yang memaksa untuk terus dirawat Halwa tolak. Bagaimana dengan rumah makan Asrar nantinya. Hatinya sudah dikuatkan sekuat baja karena ketidakhadiran nya kemarin.

Gas motor terus ditambah. Kecepatan Halwa membawa motor begitu kencang, menyalip setiap motor dan mobil yang di depannya. Badannya yang masih sedikit lemas apalagi rasa kantuknya yang belum hilang, terus Halwa tahan dan kuatkan. Dia juga lupa untuk sarapan.

Perjalanan nya dilewati dengan selamat. Sekarang hanya menyiapkan dirinya saja.

"Bismillahirrahmanirrahim." Napasnya berhembus kasar, kakinya melangkah masuk bersiap menghadapi apapun yang akan terjadi di dalam sana.

Benar saja. Halwa menjadi pusat perhatian lagi. Salahnya, dia terlambat sepuluh menit.

"Wir, ini siapa yang masak? gue kan baru datang?" tanya Halwa, mencegat langkah Wirda yang ingin mengantarkan makanan ke pelanggan.

"Cek kebelakang aja, Wa," jawab Wirda cuek.

Tidak mau memperpanjang, jalan satu-satunya yaitu ke dapur. Di sana sudah ada orang lain yang menggantikannya, seorang Pria yang entah siapa, Halwa tidak mengenalnya. Kebetulan di sana juga ada Asrar dan Jauzi.

"Assalamualaikum," salam Halwa, membuat fokus mereka teralihkan kepadanya.

"Waalakumussalam."

"Baru datang, Wa," ucap Jauzi basa-basi.

"Asrar aku minta maaf. Tadi aku bangun kesiangan dan kemarin–"

"Mendingan lo bantu di depan aja, Wa. Di sini udah ada kita." Jauzi menyela, tidak ingin mendengar keributan kembali.

"Tapikan–"

"Cepet Wa!" tekan Jauzi. Matanya melotot mengintruksikan agar Halwa pergi.

"Ya udah, aku ke depan." Badan Halwa cukup berat untuk berbalik karena Asrar tidak sama sekali melihat ke arahnya sedikit pun.

Dia di sini selalu diacuhkan, perasaan yang tak nyaman dan canggung, Halwa coba enyahkan.

Dengan keadaan lesu, Halwa ke depan dan membantu Wirda di sana. Mereka hanya menjalankan kerjaannya tanpa mengobrol seperti biasanya dengan Halwa. Mereka semua terlihat cuek dan mengabaikannya. Perasaan Halwa cukup sedih, dia juga tak bisa melakukan apapun.

Aku yang tak dipercaya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang