Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh ...
–––––––––––––––
Melihat mu saja aku sudah bahagia.
Revisi bab 5 : Selesai!
–––––––––––––––
"Jauziiii!" panggil Halwa begitu kencang, atas kedatangannya secara tiba-tiba, tanpa ada salam pembuka.
"Kenapa sih! gak usah teriak-teriak," protes Jauzi, mengusap telinga nya beberapa kali. Halwa berteriak bukan dari jauh saja, tetapi ketika sudah ada di dekatnya juga, Halwa berteriak tepat di telinganya. Gila memang, dia pikir dia tuli.
"Gue minta nomor telepon, Asrar dong," pinta Halwa menyodorkan handphone nya di depan Jauzi.
"Berani berapa lo bayar gue." Tak semudah itu, Jauzi harus memanfaatkan kesempatan ini. Karena bagi Halwa, pasti nomor telepon Asrar adalah sesuatu yang paling berharga yang harus dimiliki. Terlebih lagi, Halwa mencintai Asrar, dan sedang mengejar-ngejarnya sekarang.
"Oh jadi gitu, mau ada keuntungan nih," ucap Halwa, "Pantes aja lo pengangguran," lanjutnya membuat Jauzi menghentikan bermain handphone nya. Kata-kata membuat dirinya entah kenapa malu dan kesal.
"Gue gak pengangguran, ya! buktinya gue kerja di sini sama kayak lo sebagai karyawan. Lo gak liat baju kita sama." Jauzi memegang baju seragam merah khas rumah makan Asrar.
Jauzi, setelah lulus sekolah dia tak melanjutkan untuk kuliah, tidak seperti Asrar yang melanjutkannya dengan jurusan manajemen kuliner. Sebelum Asrar membangun rumah makan ini, Jauzi masih bekerja di tempat lain. Untungnya Asrar yang masih baik dan mengingat dirinya, mengajak untuk menemaninya untuk membangun rumah makan ini dari nol sama-sama.
"Bagi gue pengangguran tuh. Lo kan temen deket Asrar, jadi udah pasti Asrar nerima lo di sini," balas Halwa. Semakin membuat Jauzi kesal.
"Jangan buat gue marah ya!" peringatan Jauzi.
"Gue minta nomor telepon Asrar dulu, cepet! sebelum dia datang." Halwa terus menoleh ke arah depan. Kalau Asrar tahu dia meminta nomornya, bisa-bisa dia tidak mendapatkan nomornya untuk selama-lamanya. Gawat.
"Apa timbal balik ke gue?" tanya Asrar.
Terpaksa, Halwa duduk di depan Jauzi di tempat duduk pelanggan. Tatapan matanya begitu serius, dengan bibir bawahnya yang terus naik ke atas untuk meniup Kerudung nya.
"Gue akan kasih tahu informasi penting," ujar Halwa serius.
"Apa?"
"Gue punya penyakit turunan. Tepatnya diabetes melitus tipe satu." Baru saja Halwa akan membuka tas jinjing berupa suntikan, Jauzi sudah lebih dulu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, pantes Asrar gak mau sama lo. Ternyata lo masih sama kayak dulu, pembohong besar." Kalau Jauzi sudah mengatakan seperti itu, itu artinya dia juga tidak mempercayai Halwa.
"Gue gak bohong, ini beneran. Percaya sama gue ... ." Tas jinjing itu ditaruh di meja. Jauzi menyingkirkan tas itu dan ditaruh di bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku yang tak dipercaya [END]
SpiritualSalah satu harapan Halwa adalah bisa dapat kepercayaan dari orang-orang terdekatnya, dan salah satu keinginan Halwa adalah bisa mendapatkan cinta Asrar, laki-laki yang penuh rahasia di dalamnya. Mengenai kebenaran tentang penyakitnya, apakah Halwa b...