Chapter 35 : Harapan Hidup dan Mati

875 39 3
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh ...

Jarang update karena tugas praktek makin banyak. Semangat pejuang kelas 12!

–––––––––––––––

Sebanyak apapun perempuan yang mendekati mu. Tetap saja, kalau jodoh, dia akan datang kepada ku


Revisi bab 35 : Selesai!

–––––––––––––––

(Selamat membaca)

"Dah tante Fitri ...," teriak Halwa melambaikan tangannya.

Ketiga mobil keluarga Asrar telah pergi dari halaman rumahnya. Halwa kembali masuk dan menutup pintu rumahnya. Dia sangat bahagia, apalagi bisa melihat Asrar tersenyum kepadanya ketika lamaran itu jelas diresmikan.

"Dari mana saja kamu!" selidik Murni, sambil melipatkan kedua tangannya di depan dada. Mencegat langkah Halwa yang ingin masuk ke kamarnya.

"Aku dari rumah sakit. Kenapa papa sama mama gak ke sana, padahal aku nungguin kalian jenguk aku, loh... ." Berharap seperti itu, nyatanya tidak.

"Jujur Halwa! jangan bohong terus. Kamu lupa, kamu mau nikah! otomatis kamu bukan lagi tanggung jawab Papa. Kamu haru belajar–" Sang Ayah ikut menegur.

"Aku gak bohong. Kalian berdua aja yang gak percaya sama aku," balas Halwa cepat tidak mau mendengar ucapan panjang sang Ayah.

"Emang gak percaya. Habis berapa kamu selama liburan?" tanya Murni.

"Aku nggak liburan!" tekan Halwa.

"Alah bohong!"

"Uang yang aku habiskan sekitar sepuluh juta ke atas, dan itu bukan dibuang-buang gitu aja. Uang itu aku gunain untuk biaya rumah sakit aku," jawab Halwa yang sebenarnya.

"Papa merestui kamu juga karena memang kita senang kalau kamu lepas dari kita," tambah Halgan membuat hati Halwa n
tambah sakit.

"Kok Papa gitu sih ...," cicit Halwa.

"Kalau nantinya kamu punya anak, jangan sampai deh dia pembohong seperti kamu," sinis Murni.

"Mah ...," ucap Halwa.

"Apa! dasar pembohong!" Murni mengatai kembali, dan berjala begitu saja melewati Halwa untuk ke atas.

"Papa gak berharap apa-apa dari pernikahan kamu. Karena yang papa harapkan sudah terwujud, yaitu kamu bisa terlepas dari Papa sama mama." Halgan juga menyusul sang istri yang berjalan ke atas.

Halwa diam di tempat, kedua orang tuanya begitu tega. Tidak ada ekspresi bahagia diantara mereka bahwa sang anak–Halwa–yang akan segera menikah. Dari ucapan Halgan tadi, dipastikan dan disimpulkan oleh Halwa, bahwa dirinya memang cepat-cepat harus terlepas dari kartu keluarga.

"Gak papa, yang penting gue jadi nikah sama Asrar. Walaupun mama sama papa kayak gitu, gue gak boleh bersikap keras juga. Gue harus bikin mereka percaya sama gue!" tekad Halwa.

Aku yang tak dipercaya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang