[50] -Seperti biasa

102K 9.4K 949
                                    

"Dan akhirnya selalu ada batas untuk setiap perjalanan, selalu ada kata selesai untuk sesuatu yang di mulai."

•• 🕊️ ••

[50] -Seperti biasa

Daffa mengulas senyumannya menjadi tipis, sambil menatap sendu kearah gundukan tanah dengan taburan bunga diatasnya yang masih terlihat sangat baru. Setelah kejadian beberapa waktu lalu, Reynald langsung dilarikan ke rumah sakit bersama Daffa.

Namun naasnya saat sudah sampai di sana, nyawanya sudah tidak dapat tertolong lagi dan harus segera di makamkan pada hari itu juga.

Mau tidak mau dan dengan keterpaksaan yang amat sangat, Daffa harus merelakan adik tirinya itu untuk segera di kebumikan pada saat itu juga. Kini masih terhitung dua hari, setelah Reynald pergi meninggalkannya.

Lagi dan lagi Daffa tersenyum tipis untuk menutupi rasa sesak di dadanya, yang sedari tadi sudah hinggap dan bersarang di sana. Menghimpit paru-parunya, sehingga membuat nafasnya terasa tercekat sekarang ini.

Tak berselang lama, senyuman hangat pun terbit di bibir cowok itu. "Gua janji bakal jagain mama lo," ujarnya tulus. Tangannya kini perlahan mulai terangkat, untuk mengelus nisan itu dengan lembut dan penuh kasih sayang.

Daffa tersenyum kecut, lalu menjauhkan tangannya dari nisan itu. "Maaf, selama ini gua gak pernah mau nerima lo sebagai adik." ujarnya dengan suara serak yang sedikit memelan.

"Maaf juga, karena selalu menyalahkan kehadiran lo dan juga mama lo." sesalnya.

Cowok itu memejamkan matanya sebentar, lalu menghela nafasnya berat. "Dan maaf... karena gua gak pernah bisa jagain lo." ujarnya merasa bersalah, karena telah gagal menjadi seorang kakak.

"Maafin papa gue juga," gumamnya pelan.

Daffa menatap nisan itu penuh dengan keteduhan. "Makasih." cicitnya.

"Makasih karena lo udah selalu ngertiin keadaan gue dan selalu perduli sama gue." ucapnya lagi melanjutkan perkataannya tadi.

Cowok itu kembali tersenyum, saat mengingat kata-kata terakhir dari Reynald saat itu. "Gue juga sayang sama lo, Rey." lirihnya.

"Walaupun kenyataannya, gue gak pernah peduli dan selalu acuh sama lo." lanjutnya lagi dengan sedikit tertunduk.

Sekali lagi ia merasa bersalah, dengan sikapnya yang selalu cuek terhadap adik tirinya itu. Sampai-sampai ia tidak tahu, bagaimana kehidupan pahit yang telah Reynald jalani bersama mamanya.

Daffa kembali mengangkat kepalanya, lalu tersenyum. "Gua pergi dulu," pamitnya.

"besok gua ke sini lagi." lanjutnya.

"Lo tenang aja, gua bakal sering-sering mampir ke sini dulu kok." tambah cowok itu lagi.

"Di samping makam lo, ada makam mama gua juga." ujarnya sedikit terkekeh. Lalu matanya melirik kearah makam mamanya sekilas, yang letaknya tepat di samping kanan makam Reynald. 

Setelah selesai memandangi kedua makam itu secara bergantian, Daffa pun langsung segera berdiri dari tempatnya. Lalu berjalan menuju parkiran dan segera pergi meninggalkan area pemakaman.

Saat ini tujuannya adalah pulang ke rumah lamanya. Untuk mencari tahu apa maksud dari isi kertas, yang sempat Reynald selipkan pada saku celana jeans-nya. Sebelum Reynald menghembuskan nafas terakhirnya, ia memang sempat menyelipkan sebuah kertas itu ke dalam saku celana Daffa.

Daffa yakin, Reynald mengetahui sesuatu yang belum ia ketahui.

... 🕷️ ...

ALTEZZA [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang