ALVARO || 046

14K 842 20
                                    

Malam, udara dingin itu menyelimuti seorang pria yang sedang berjalan tergesa gesa. Terlihat jelas di wajahnya bahwa ia sedang, khawatir.

Ia menghentikan langkahnya, matanya menatap jelas seorang gadis yang satu tahun belakangan mengisi harinya.

Matanya memanas, ia hanya bisa menatap wajah cantik itu yang terpejam. Dirinya belum boleh masuk, ia hanya di perbolehkan menjenguknya dari balik kaca.

Tangannya menyentuh kaca tersebut, seolah sedang menyentuh wajah cantik itu. "I Miss you, Zela."

Ya, laki laki itu Steven. Karena sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Zela, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit sendirian.

Zela masih koma, ia belum di perbolehkan untuk dijenguk. Mereka hanya bisa melihat Zela dari balik kaca yang menampilkan Zela dengan banyak selang.

Steven benci ini, ia lebih baik melihat Zela yang bar bar dan cerewet dari pada harus melihatnya tidur dengan banyak selang di tubuhnya.

Pertahanan Steven runtuh, matanya mengeluarkan cairan bening. "Gue kangen, kapan lo bangun?" gumamnya pelan.

"Gue minta maaf, gue nggak bermaksud buat lo sakit hati. Lo pasti marah banget ya sama gue? Gue bodoh ya sia sia in lo?"

Steven menunduk dengan air mata yang terus menetes. "Gue bodoh.."

"Gue gak pantes dapet cewek sebaik lo, Zel."

"Gue aja nggak berharap maaf dari lo, karna gue tau lo pasti kecewa berat sama gue. Tapi asal lo tau, gue udah sadar, gue nyesel.. nyesel banget karna buang lo. Andai waktu bisa gue ulang, gue nggak bakal sia sia in lo." Steven berbicara sendiri, pandangannya masih lurus ke depan.

"G-gue emang brengsek.."

Steven memejamkan matanya sebentar. "Lo tau? Gue kangen coklat dari lo, gue juga kangen gombalan receh dari lo."

Steven tertawa hambar, rasanya sesak. Entah sedari kapan ia mulai mencintai Zela, yang jelas setelah Zela sadar ia harus meminta maaf sampai Zela memaafkannya. Itu harus.

"Andai dulu gue gak bodoh, andai dulu gue gak sia sia in lo, andai dulu gue..." Cukup, Steven tak bisa melanjutkan kata katanya lagi. Terlalu sakit jika mengingat dulu.

Tepukan di pundak Steven membuatnya menoleh ke belakang. Ternyata kakak Zela, David.

"Lo dari kapan disini?"

"Sebentar," jawab Steven dengan suara serak.

David diam sebentar. "Gue mau kasih lo sesuatu,"

Steven mengangkat satu alisnya. "Apa?"

David tak menjawab, ia malah mendudukkan dirinya di kursi besi rumah sakit. Steven yang bingung pun juga ikut duduk di sebelah David.

David mengeluarkan sebuah buku dari balik jaketnya, membuat Steven heran. Bukunya agak tebal dan diberi sampul berwarna pink, seperti buku diary.

"Buku adek gue, kalo lo mau baca." David meletakkan buku itu di atas paha Steven, setelah itu ia pergi meninggalkan Steven sendiri.

ALVARO | ATLANTA GENKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang