Halo!
Jangan bolong2 votenya ya! Kalau keliatan bolong, aku langsung pindah lapak. Thankyou <3
***
Tiga hari, Shaga mengurung diri. Menyalahkan diri sendiri atas ketidak peduliannya pada Natasya sampai membuat gadis itu kehilangan nyawa. Shaga tahu, kematian adalah takdir. Kalaupun bukan bunuh diri, mungkin Natasya juga akan mati karena hal lain. Shaga paham itu.
Hanya saja, tidak mudah bagi Shaga untuk tidak menyalahkan diri sendiri. Apalagi saat keadaan dia tahu bahwa Natasya memang bisa saja nekat bunuh diri. Shaga tidak bisa untuk tidak menyalahkan diri sendiri, di saat dia membaca lagi pesan-pesan Natasya yang mengatakan bahwa dia membutuhkan Shaga. Hanya sebentar saja, tapi Shaga mengabaikannya.
Mungkin sebagian orang akan berpikir sama seperti Shaga, andai saja dia datang, andai saja dia tidak abai, dan 'andai' yang lainnya muncul, mungkin jalan cerita kematian Natasya akan berbeda. Mungkin sekarang Shaga tidak akan di gorogoti rasa bersalah. Setidaknya Shaga sudah mencoba membantu, setidaknya Shaga sudah datang. Walaupun mungkin terlambat dan Natasya sudah pergi, tapi mungkin gadis itu pergi tanpa meninggalkan rasa bersalah untuk Shaga.
Bukannya Shaga tidak ingin merasa bersalah begini, namun rasanya sangat sulit untuk melanjutkan hidup ketika bayangan tentang Natasya selalu mendatanginya. Mimpi buruk tentang Natasya yang bersimbah darah meminta tolong padanya, bayangan Natasya yang menangis, meneriaki nama Shaga untuk membantunya. Mimpi itu selalu datang saat mata Shaga terpejam dan itu selalu berhasil membuat Shaga semakin terperosok dalam penyesalan.
Dalam keadaan kamar yang remang, minim cahaya. Shaga duduk berselonjor dengan punggung bersandar pada pinggiran dipan. Di tangannya ada foto Natasya kecil, dia pandangi itu dengan mata mengabur oleh air. Shaga tahu, menangis dan bersedih tidak akan membut Natasya nya kembali hidup, tapi apalagi yang harus Shaga lakukan di saat rasa rindu untuk memeluk gadis itu datang seolah ingin membunuhnya?
Janji lho jangan ninggalin aku, kalau nggak ada kamu aku mati.
Gurauan yang selalu Natasya ucapkan mendadak terdengar di kepala Shaga. Gadis itu akan mati jika tidak ada Shaga, dan semuanya benar-benar terjadi.
Shaga usap wajah gusarnya, dia menoleh ke kasur saat handphone nya bergetar lagi. Telepon dari Hazel, entah untuk keberapa kali, Shaga abaikan. Shaga tatapi layar yang sedang menyala itu sampai redup, panggilan Hazel sudah berakhir.
Shaga ulurkan tangan, mengetuk layarnya sampai menyala, dia menatap nanar pada wallpaper di sana. Foto mereka bertiga, Shaga, Panpan dan Hazel yang di ambil dua hari lalu, Shaga mengusap layarnya dengan jari yang bergerak pelan, lalu tidak lama kemudian dia mematikan layar.
Shaga tertunduk lagi, dia sepenuhnya sadar tidak seharusnya dia mengabaikan Hazel. Gadis itu tidak punya salah padanya, tidak juga pada Natasya. Kematian Natasya tidak ada sangkut pautnya dengan Hazel, Shaga tahu itu.
Shaga mengabaikan Hazel hanya untuk menata hatinya sendiri. Shaga tahu ini jahat, tapi ketika melihat wajah Hazel penyesalan itu akan datang lebih besar. Penyesalan Shaga yang telah menerima perjanjian itu tanpa berpikir matang hingga mengabaikan Natasya. Shaga mengerti, sepenuhnya bukan salah Hazel, ini salahnya sendiri karena telah menerima perjanjian itu dengan segala konsekuensinya. Hanya saja, melihat Hazel seolah melihat penyesalan itu sendiri di matanya.
Jujur saja melihat Hazel dalam kondisi sekarang justru Shaga merasakan ingin marah, melampiaskan kekecewaan nya, pada siapapun, terutama pada Hazel. Tidak bisa bagi Shaga untuk tidak melibatkan nama Hazel dalam rasa penyesalannya, karena semua pengabaian yang dia lakukan pada Natasya bermula dari perjanjian dengan Hazel.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHAGA (SELESAI)
Teen FictionJUDUl AWAL HAZEL. *** Shaga Putra Mahatama, menyesal karena menyetujui perjodohan nya dengan gadis asing, enam bulan lalu. Kemudian, karma datang menghampirinya. Dua bulan menghabiskan waktu dengan Hazel, Shaga jadi menyesal karena selalu mengangga...