SHAGA || FIFTY FIVE (2)

108K 10.6K 4.2K
                                    

Assalamualaikum...

***

"Berapa persen kemungkinan operasi ini berhasil?" Hazel bertanya dengan suara khas nya yang tenang walau hatinya resah dan cemas, iris coklat gadis itu menatap ke depan, pada taman Rumah Sakit dalam suasana pagi mendung yang di penuhi banyak anak.

"Kami akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan Nona Hazel," sahut wanita paruh baya yang sejak dua bulan merawat gadis itu. "Jangan cemas, berdoalah," imbuhnya lagi di sertai lengkungan senyum hangat.

Dokter itu, Anggi namanya, menatap Hazel yang hanya diam. Rasa iba dan kagum dia rasakan untuk gadis bersurai coklat tersebut. Melihat kondisi Hazel yang semakin hari semakin menurun, tentu dia juga khawatir. Tubuh ringkih, semakin kurus. Wajah dan bibir sama pucatnya. Sementara iris coklat yang harusnya berbinar indah, selalu redup oleh kesedihan.

"Mau jalan-jalan?" tawarnya.

Hazel menggeleng selagi tangan merogoh saku cardigannya, dia keluarkan selembar foto usang yang selama seminggu ini dia genggam diam-diam. Sebuah foto berisi dirinya dan Shaga kecil. Hazel menunduk, menatap hangat di sana. Dan hal itu tidak luput dari penglihatan Dokter Anita.

Hal yang ia ketahui selama merawat Hazel di rumah sakit adalah, Hazel yang selalu menangis diam-diam sambil memeluk foto itu erat. Mata Hazel yang selalu sayu dan sendu, selalu berubah dalam hitungan detik menjadi hangat, penuh kasih sayang dan kesedihan mendalam ketika menatap selembar foto tersebut.

"Shaga dari kecil udah ganteng, ya?" celetuknya tanpa sadar, lantas saat Hazel menoleh dari balik bahu, Dokter Anggi meringis seketika.

"Shaga? Dokter tahu sama dia?" nada bicara Hazel jadi sedikit bersemangat dan berawarna, apalagi di sertai sorot penuh rindu dan pilu yang terlihat jelas di mata beningnya.

Dokter Anggi mengangguk. "Kan, pernah antar Non Hazel dua Minggu lalu pas drop."

"Aaah iya," gumam Hazel. "Di ganteng, kan? Lebih ganteng pas kecil," ucapnya lagi menatap pada foto.

"Udah besar juga ganteng ah."

"Tapi nyebelin," dengkus Hazel.

"Dan ngangenin?" timpal Dokter Anggi, terkekeh samar ketika Hazel berdeham salah tingkah.

"Shaga sayang banget sama Non Hazel," ungkap Dokter Anggi setelah beberapa saat hening. "Saya bisa lihat di matanya, dan merasakan nya."

Hazel terkekeh, mengepal tangan erat. "Dia pasti benci sama aku sekarang, aku jahat sama dia."

"Mana mungkin benci," decak Dokter Anggi. "Shaga mungkin lebih sayang sama Non Hazel di banding dirinya sendiri."

"Man—"

"Mungkin aja. Dia bahkan maksa buat donor darah kemar—" shit! Dokter Anggi menutup mata sambil mengumpat dalam hati, beberapa detik kemudian matanya kembali terbuka dan sudah dia duga manik Hazel lah yang akan dia jumpai.

"Donor darah?" Haze bertanya.

Dokter Anggi bergerak gugup. "Itu..., maksud say—"

"Bicara jujur atau saya akan lepas paksa infus ini." Hazel tidak mengancam, melainkan benar-benar melakukannya, infus itu di tarik paksa sampai perekatnya terbuka, hampir saja lepas kalau Dokter Anggi tidak cepat-cepat menahannya. "Bicara sekarang."

Masih dalam keadaan jantung terasa lepas Dokter Anggi bersimpuh di bawah Hazel sembari membetulkan letak infusnya. "Empat hari lalu, Shaga datang kemari dan—"

"Donor darah untukku?" sela Hazel, Dokter Anggi mengangguk kaku. "Jadi dia udah tahu aku sakit?"

"Saya yang beritahu Shaga, Non. Maaf saya lancang tapi saat itu saya benar-benar merasa kasihan melihat Shaga putus asa."

SHAGA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang