Sepanjang perjalanan menuju distrik dimana tempat tinggal Bella berada, hanya hening yang menemani. Tidak ada suara musik, radio atau bahkan percakapan antara dirinya dan Elard. Mereka seolah sepakat mengisi waktu dengan saling membisu. Dan Bella tidak keberatan dengan kesenyapan ini. Setidaknya, ia tidak perlu di tanyai lagi alasan mengapa dirinya begitu bersikeras untuk mengunjungi rumahnya.
"Kau ingin masuk dan mampir terlebih dahulu? Sebenarnya, kau bahkan tidak perlu menungguku. Aku bisa memesan uber untuk pulang nanti."
"Tidak. Lagipula kau tidak akan lama disana bukan?"
Elard mengabaikan kalimat terakhir Bella. Dan Bella cukup menyadari itu. Berdebat tentu saja bukan hal yang ingin Elard lakukan saat ini.
Maka, hal pertama kali yang ia rasakan saat kembali berada di tempat ini adalah Bella yang menyadari bahwa tidak ada yang berubah. Baik rumah yang ia tempati selama 20 tahun ia hidup atau bahkan tentang bagaimana pola hidupnya berlangsung. Ia masih ketergantungan pada setiap sosok yang ia temui, padahal ia yang paling tau bahwa berharap pada selain sang pencipta---itu akan terdengar konyol dan lucu.
Perasaan sesak itu masih ada sampai sekarang. Mengurung Bella dengan begitu rapat hingga ia tidak memiliki celah untuk kabur. Bella tidak punya pilihan. Atau memang sedari awal ia memang tidak diberi kesempatan untuk memilih. Maka, ketika ia kembali menginjakkan kakinya di halaman rumah ini, beruntun ingatan menyerbu Bella silih berganti.
"Bella? Kau kah itu?! Oh tuhan... itu benar-benar kau Bella."
Suara gaduh dari Bibi Mery menjadi sambutan hangat yang ia rindukan. Rupanya, tidak berkunjung hampir dua bulan lamanya telah berhasil memupuk rindu yang besar terhadap wanita paruh baya yang ada di hadapannya ini.
"Bagaimana bisa kau melupakan jalan pulang ha?! Kau tidak rindu padaku? Atau kau tiba-tiba sudah menikah dan berencana tidak pulang lagi ke sini? Astaga! Jika benar, kau memang keterlaluan Bella. Kau belum mendapatkan restu dariku."
"Kau terlalu banyak mengoceh bi. Dan tenang... aku belum menikah. Mungkin bukan sekarang."
"Oh tidak... jangan bilang kau sudah memiliki kekasih? Iya?! Aku tidak bisa berdiam diri saja kalo begitu."
Bella terkekeh melihat rasa antusiasme yang Bibi Mery tujukan. Bagaimanapun juga, dia adalah salah satu alasan mengapa Bella bisa bertahan sampai sekarang. Jadi, mendengarnya mengoceh tanpa henti seperti ini sudah menjadi obat tersendiri bagi Bella. Dan Bella jadi merindukan momen-momen saat dirinya masih tidak tahu menahu tentang seberapa parah hidup yang ia jalani, hingga berlindung di belakang Bibi Mery merupakan satu-satunya tempat teraman.
"Tunggu... mobil siapa itu yang sedang terparkir di halaman rumah? Apa itu kekasihmu?"
Bella mengangguk dengan senyum malu. Lagipula, memang benar bukan bahwa Elard adalah kekasihnya?
"Oh tuhan! Aku bahkan tidak tau kau ahli dalam menggaet lelaki kaya. Wah... apakah ini bisa di sebut dengan cerita cinderella?"
"Tidak Bibi Mery. Ayolah... jangan selalu samakan semua ceritaku dengan film-film Disney itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Pain
RomanceMerupakan suatu kegilaan besar saat Bella memilih untuk menyerahkan seluruh kehidupan nya di bawah naungan sosok yang ia yakini sebagai pegangan untuk dirinya bisa bertahan hidup----- Richolas Elard Zheroun. Dirinya tidak memiliki pilihan lain saat...