Tidak perlu banyak usaha untuk menerjemahkan kenapa Elard mau bersusah payah menceritakan masa kelam dirinya pada Bella. Ia cukup paham bahwa lelaki itu ingin berbagi mengenai kemungkinan akan emosinya yang kerap kali kurang stabil. Dan Bella dapat dengan mudah mengetahui bahwa Elard tengah butuh pemahaman atas dirinya. Namun, setelah semua itu berakhir. Pertanyaan ini muncul begitu saja dalam kepala Bella.
Sampai kapan?
Ya, sampai kapan dirinya harus mencoba mengerti. Sedang Elard seolah tetap bersikukuh pada sikap ke arogansiannya pada Bella. Memang, sikap lelaki itu sudah sedikit melembut akhir-akhir ini. Namun Bella bahkan tak yakin itu dapat bertahan lama. Apakah dirinya akan di anggap konyol jika memikirkan bahwa kejadian kemarin hanya sebuah bentuk kamulfase dari salah satu taktik Elard agar dapat mendapatkan maaf dari Bella?
Tapi kenapa baru kali ini?
Berbagai macam pertanyaan seolah berebut ingin menguasai kepala Bella hingga ia tidak sadar bahwa roti yang ia panggang telah gosong dan menguarkan aroma pekat yang tidak nyaman.
"Kau seharusnya bisa berkonsentrasi jika memasak." Berbalik dengan cepat, Bella tersentak dari posisinya ketika menemukan Elard berdiri di sekat ruang dapur dengan bertelanjang dada. Dan Bella harus berulang kali mencoba mengatur nafas agar paru-parunya dapat menerima pasokan udara yang cukup. Sedang Elard sepertinya sengaja ingin menguji benteng pertahanan Bella.
"Sayang sekali, padahal aku sangat ingin makan roti panggang."
Seolah tersadar, Bella kemudian bergerak dengan linglung dan menyadari bahwa roti yang ia panggang tadi telah hangus total. Di belakangnya, Elard terkekeh dengan cara yang begitu menjengkelkan. Namun, dari semua hal ini, suara tawa Elard masih terdengar asing di telinga Bella.
"Maafkan aku... rupanya, aku memang kurang ahli dalam urusan dapur." Bella membalas dengan cengiran kecil. Berusaha meminta pengertian Elard akan salah satu kecerobohan dirinya yang memang selalu melekat.
"Kau memang tidak ahli dalam hal apapun Bella---" Hampir saja Bella ingin menyergah marah, namun kalimatnya kembali tertelan ketika Elard menyela dengan cepat.
"Kecuali, dalam urusan ranjang." Sambil mengedipkan mata dengan genit, Elard melangkah ke arah Bella yang kini mulai memandanginya dengan cemberut. Mereka benar-benar tampak seperti pasangan pada umumnya sekarang.
"Kau tau? Selain menyebalkan, seluruh isi otakmu juga kotor."
"Aku tak bisa menyangkalnya karena memang itulah adanya. Lagipula, semua respon ini hanya akan bangkit jika aku berada dekat denganmu."
"Dan itu sungguh menjengkelkan."
Dengan hening yang kemudian mengambil alih, Bella biarkan Elard membimbing dirinya ke arah kaca besar di sudut dapur. Menampilkan pemandangan kota yang kini terlihat lebih padat karena hari libur.
Posisi seperti ini jelas tidak menguntungkan sama sekali bagi Bella. Ia selalu merasa resah dengan kedekatan yang tercipta diantara mereka. Seolah hanya dengan bersentuhannya punggung kecil Bella dengan dada telanjang Elard di belakangnya, telah berhasil menerbangkan akal sehat miliknya. Menyisakan keremangan yang nyatanya selalu mampu membuat tubuh Bella gemetar penuh damba. Ia tidak tau bagian mana yang salah, tapi respon ini memang selalu tercipta secara spontan tanpa bisa Bella cegah. Dan harus Bella akui, bahwa ia cukup menikmati bagian dari degup jantungnya yang menggila akibat dentuman rasa gugup ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Pain
RomanceMerupakan suatu kegilaan besar saat Bella memilih untuk menyerahkan seluruh kehidupan nya di bawah naungan sosok yang ia yakini sebagai pegangan untuk dirinya bisa bertahan hidup----- Richolas Elard Zheroun. Dirinya tidak memiliki pilihan lain saat...