Seperti yang selalu di percayai oleh Veena sebelum ini, ia juga telah berusaha meyakini dirinya sendiri bahwa keputusan yang telah ia ambil selama ini sudah terasa benar. Banyak orang yang mengatakan bahwa disini dirinya berperan sebagai tokoh antagonis nan egois. Veena ingin menyangkalnya, namun ia tau itu percuma.
Veena secara sadar telah menyakiti orang lain demi kepentingan dirinya sendiri. Tapi ia bahkan tidak tau harus mengucap maaf dengan cara apa atau bahkan menenangkan kalut yang sedang menderanya bagaimana. Ia mengorbankan perasaan orang lain demi dirinya yang sedang menata puncak kebahagian. Bukankah ini terdengar egois? Veena akui, dari dulu hingga sekarang ia selalu terjebak dalam situasi tak menguntungkan. Seperti mengandung anak dari lelaki yang ia cintai, tapi dengan menjadi pembangkang dari ayahnya sendiri.
Ternyata benar kata sebagian orang, bahwa cinta itu buta. Dan Veena mengakui bahwa ia tengah berada dalam situasi itu sekarang. Terjebak dan kebingungan mencari jalan keluar. Selain tetap berjalan dengan tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Secara naluri, tangannya bergerak ke atas perutnya yang kini telah menonjol dari yang terakhir kali. Suatu gerakan reflek yang akhir-akhir selalu ia lakukan ketika resah sedang menerpa dirinya. Veena mendapatkan ketenangan dari hal tersebut.
"Kadang aku sempat berfikir, apa selama ini jalan yang telah kita pilih sudah benar? Atau selama ini kita hanya sedang mencoba membutakan diri dari takdir yang sedang meleset jauh dari harapan? Dimana menurutmu yang benar Mi Amor?"
Veena tak lagi terkejut mendapati lelaki ini muncul secara tiba-tiba. Intensitas kedekatan mereka yang merenggang, menyebabkan Veena lebih sensitif oleh gerakan kecil yang selalu di timbulkan ketika Peter--- kekasihnya, hadir. Aroma parfumnya melekat dengan cara yang selalu Veena sukai. Lelaki itu, bahkan tanpa perlu melakukan apapun, Veena dapat dengan mudah jatuh cinta. Nyatanya, memang se konyol itu.
"Bukankah ada baiknya kita optimis? Alih-alih berdiam diri dan menyerah begitu saja. Kita bahkan baru mencobanya Peeta, dan mengatakan kalah sekarang, terdengar seperti penakut. Lagipula, kita belum benar-benar sampai pada garis finish."
"Kadang, berhenti juga bukan suatu keputusan yang salah Mi amor. Seberapa keras kita berusaha, kalau bahkan semesta tak mengijinkan kita berada dalam lapangan yang sama--- semua akan terasa percuma meski yang kita tapaki sekarangpun sudah seluas samudra."
Menghela nafas dengan gusar, Veena memutar tubuhnya dengan lemas. Pembicaraan yang tercipta diantara mereka akan selalu berputar pada hal yang sama--- seolah dengan begitu, mereka bisa berinteraksi dengan baik. Meski bukan dalam artian yang sebenarnya. Veena tidak ingin menyerah jikapun semesta telah memukulnya mundur hingga babak belur. Ada beberapa hal yang ia rasa pantas di perjuangkan dengan seluruh yang ia punya.
"Lalu kau ingin apa? Mengakhiri hubungan ini? Bukankah itu bahkan bukan suatu usaha? Ap---"
"Kau tau bukan itu yang aku maksud Mi amor, aku mencintaimu se tulus yang kau tau---"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Pain
RomanceMerupakan suatu kegilaan besar saat Bella memilih untuk menyerahkan seluruh kehidupan nya di bawah naungan sosok yang ia yakini sebagai pegangan untuk dirinya bisa bertahan hidup----- Richolas Elard Zheroun. Dirinya tidak memiliki pilihan lain saat...