Bella tidak tau sebenarnya apa yang ia harapkan ketika terbangun dari tidur panjangnya. Sebab, sejak netranya terbuka untuk pertama kali, tak ada satupun kehadiran seseorang yang benar-benar di harapkannya. Mereka datang dengan tatapan prihatin kemudian pergi dengan ucapan penuh kasihan. Bella tak membutuhkan itu semua.
Ada sesuatu yang terasa hilang dari dirinya. Tapi mereka semua bahkan tak mau membagi hal tersebut padanya. Seolah ia sedang di asingkan dan di isolasi dari yang namanya rasa prihatin serta kehilangan. Dan Bella kebingungan atas segala rasa yang menimpanya--- selain perasaan kosong yang lebih mendominasi.
Pertanyaan yang telah Bella pendam sedemikian rupa telah berkumpul di ujung lidahnya. Siap untuk di muntahkan kapan saja. Tapi bahkan ketika pengunjung terakhir datang ke kamarnya--- Mommy Isabella, Erick Zheroun serta Teressa pergi, Bella bahkan tidak memiliki kemampuan lebih untuk sekedar menggerakkan bibirnya. Ia seolah di tahan oleh ketakutan tak kasat mata--- yang jika dirinya memaksa untuk tetap menanyakan hal tersebut, ia mungkin akan menerima efek dahsyat yang bisa saja membuat dirinya tak kuasa untuk menerima.
Jadi, daripada membalas sapaan satu per satu dari perawat yang berlalu lalang dan sibuk menanyai akan kemana dirinya pergi--- padahal ia baru saja terbangun dari pingsannya, Bella memilih untuk mengabaikan dengan membalas senyum kecil sebisa mungkin. Hatinya sedang bergejolak dengan rasa tak mengenakkan dan rasanya mustahil untuk membuka obrolan bahkan jika itu hanya berupa basa-basi tak penting sekalipun.
Udara pada penghujung tahun terasa lebih dingin hingga Bella harus merapatkan kardigan yang ia pakai dengan erat. Taman rumah sakit juga tampak kosong, mungkin karena awan di atas sudah terlihat mendung dan badai salju bisa kapan saja turun. Tapi itu dan menyurutkan keinginan Bella untuk tetap duduk di salah bangku taman yang kosong. Mencoba menghirup udara luar agar bisa sedikit meredakan rasa sesak yang seakan menghimpit dadanya.
"Kau tidak bisa berdiam diri disini Bella." Suara familiar itu... Bella tak mengharapkan kedatangannya begitu cepat. Padahal tadi, ia begitu ingin berbicara pada Elard. Namun sekarang, bahkan lantunan nada penuh kekhawatiran dari Elard hanya menghadirkan getir yang terasa menggores dadanya lebih dalam.
"Menurutlah... selagi stok kesabaran ku masih ada Bella." Nada menuntut itu memancing gejolak panas dari dirinya hingga Bella tak lagi mampu mengontrol ketika kalimat yang keluar dari bibirnya terdengar lebih ketus, di lingkupi oleh rasa marah serta kecewa dari sisa percakapan mereka sebelum kejadian ini.
"Lantas apa yang kudapat jika menurut padamu?! Kau akan membatalkan pertunangan itu? Atau kau datang hanya untuk bersimpati lalu kemudian menertawai ku dari belakang, sebab selama ini aku mungkin telah tampak bodoh di hadapanmu?" Bella menyergah dengan nada lebih tinggi. Ia menjawab dengan konteks kalimat yang terasa tidak ada sangkut pautnya dengan kalimat Elard sebelum ini. Tapi siapa yang peduli. Sebab saat ini, Bella hanya ingin meluapkan segala bentuk sakit yang sudah ia tahan semenjak tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Pain
RomanceMerupakan suatu kegilaan besar saat Bella memilih untuk menyerahkan seluruh kehidupan nya di bawah naungan sosok yang ia yakini sebagai pegangan untuk dirinya bisa bertahan hidup----- Richolas Elard Zheroun. Dirinya tidak memiliki pilihan lain saat...