Jika ternyata rasa dari sebuah penyesalan bisa semenakutkan ini, Elard mungkin tidak akan pernah berani untuk tercebur ke dalamnya, bahkan hanya untuk sekedar menyicipinya saja sudah terasa begitu menyesakkan bagi Elard. Ini benar-benar terasa seperti neraka baginya. Dan parahnya lagi, terasa begitu mengerikan. Sebab setelahnya, perasaan rindu yang kemudian muncul, ternyata berubah menjadi raungan kesakitan yang harus Elard basuh dengan tangannya sendiri.
Elard sudah seperti orang linglung yang kehilangan arah selama satu bulan terkahir setelah hari itu. Tapi setidaknya, meski begitu, Elard merasa bahwa ia telah mengambil keputusan yang tepat. Memberi waktu pada Bella untuk kembali menjadi sembuh setelah sebelumnya ia buat babak belur hingga tak berbentuk. Kali ini, dirinya harus menekan seluruh ego demi bisa membawa Bella kembali pulang padanya.
Waktu berhembus dengan begitu lambat, membuat Elard bahkan lupa kapan terakhir kali ia memangkas jambang yang kini terlihat semakin memanjang. Dirinya bahkan lupa kapan terakhir kali bisa makan dengan nyaman tanpa perlu selingan bayangan akan pengharapan bahwa Bella bisa kembali bersamanya lagi. Ia yang kini tersesat dan kehilangan arah sekarang. Elard bahkan tidak berani untuk menapakkan kakinya kembali ke apartemen lamanya. Disana--- terlalu banyak kenangan tentang Bella yang sampai saat ini ingin Elard bungkus dengan rapi agar tidak tercerai-berai hingga menghilang dalam ingatan.
Karena demi apapun, kembali ke tempat dimana seluruh cerita mereka dimulai, hanya akan menambah rindu pada relung dada Elard yang semakin hari telah semakin membengkak dengan cara yang begitu menyiksanya.
"Apa kau ingin sarapan di kamar lagi sayang?"
"Hm, apa itu tidak apa mom?" Tanpa melepas pandangan dari bingkai foto yang merefleksikan sesosok manusia yang kini sangat Elard rindukan, ia menjawab dengan nada suara lemah penuh harap. Foto ini, ia ambil secara diam-diam ketika pertama kali dirinya bertemu Bella.
"Sebenarnya, itu tidak apa. Tapi em... Kakakmu itu ingin kau menemuinya. Ya, Teressa bilang dia ingin kau bergabung dengan kami kali ini. Mungkin, ada yang ingin dia bicarakan." Sebagai seorang ibu, Isabella jelas merasa khawatir. Putranya itu seolah sedang menghukum dirinya sendiri dengan terus berdiam diri di kamar seperti orang yang tak memiliki harapan. Mengisolasikan diri dari dunia luar.
"Benarkah? Apa dia sudah memaafkanku?"
Berdeham dengan anggukan kepala ragu, Isabella kembali menjawab dengan suara tercekat. Bagaimanapun juga, ia telah berbohong pada putranya kini.
"Ya, seharusnya sudah. Lagipula, mommy tidak ingin kalian bertengkar terlalu lama. Rumah jadi terasa asing jika kalian berubah menjadi pendiam seperti ini."
Benar, sejak inseden di rumah sakit satu bulan lalu. Baik hubungan antara suaminya, Teressa hingga putranya ini, berubah menjadi begitu canggung. Seolah ada sekat yang membatasi interaksi diantara mereka. Dan Isabella sedikit kewalahan dalam mencari cara agar mereka bisa kembali menjadi dekat lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Pain
RomanceMerupakan suatu kegilaan besar saat Bella memilih untuk menyerahkan seluruh kehidupan nya di bawah naungan sosok yang ia yakini sebagai pegangan untuk dirinya bisa bertahan hidup----- Richolas Elard Zheroun. Dirinya tidak memiliki pilihan lain saat...