•••
Juna mengendarai motornya memasuki daerah sebuah pemukiman di Jakarta bagian Utara. Ia memandang miris lingkungan sekitar, ada beberapa orang yang ia kenal menatapnya terheran-heran. Bukan karena mereka merasa kenal, tetapi asing melihat sosok Juna yang mengendari motor Ninja putih tersebut. Juna melewati sebuah lapangan bola kecil, ia menghentikan motornya sebentar. Juna melihat sosok dirinya masih berusia 10 tahun menatap anak-anak sebayanya yang tengah asyik bermain. Sementara dirinya memegang sebuah kotak persegi panjang berisi rokok. Walau tidak berat, cukup membuat lehernya pegal karena menyandang tali kotak tersebut.
"Gapapa. Sekarang gue bahagia," gumam Juna tersenyum. Ia menjalankan motornya kembali.
Lalu tak berselang lama, Juna menghentikan motornya lagi tepat di belakang pedagang es potong. Juna teringat kembali, waktu itu ia tak bisa menjual rokok sesuai target bibi dan pamannya. Akan tetapi berani membeli satu potong es tersebut. Berakhir dirinya tidak makan malamnya.
"Dan sekarang, gue bisa makan apa yang gue mau. Gapapa."
Juna turun dari motornya, lalu mendekati pedagang es potong yang sibuk melayani anak-anak yang membeli es potong miliknya.
"Bang, saya beli satu balok gede itu. Tapi nanti saya ambil habis saya pulang dari rumah bibi saya. Nggak lama kok. Bisa, Bang?" tanya Juna.
"Bisa, Mas. Mau yang rasa apa?"
"Rasa cokelat aja. Biar Abang nggak takut saya PHP-in, nih saya kasih duitnya duluan. Asal Abang nggak balik PHP-in saya."
"Yowes, Mas. Nggak bakal PHP saya."
"Oke. Saya jalan dulu, Bang. Oh ya, saya Junaid," ucap Juna sambil kembali ke motornya. Sedangkan penjual es itu terdiam, seperti tak asing dengan nama tersebut.
"Junaid ... bocah penjual rokok itu," gumam penjual es potong. Ingin menyapa kembali, tetapi Juna sudah melajukan motornya.
Juna akhirnya sampai di depan rumah lusuh. Tak banyak yang berubah, hanya cat rumahnya saja yang terlihat berganti. Itupun sudah memudar dan terkelupas. Juna memarkirkan motornya tepat di depan rumah itu, lalu berjalan menaiki teras rumah. Juna mengetuk dengan ragu, hingga pintu pun terbuka. Tampak Bibi Juna terkejut melihat sosok keponakannya berdiri di hadapannya.
"Ju-Juna ...."
"Saya mau jenguk Paman. Masih sakit, kah?"
"Ma-masuk, Jun! Paman kamu ada di dalam ayo masuk!" ucap Sutarti—bibinya Juna.
Juna pun masuk ke dalam rumah kecil itu. Berkali-kali Juna menahan dirinya agar tak mengingat kejadian kelam itu, tetapi namanya kenangan pahit pasti selalu abadi dalam ingatan. Juna pun duduk di salah satu kursi kayu, sedangkan Sutarty memanggil pamannya.
Tak lama sosok sang paman muncul bersama bibinya. Danuli—paman Juna tampak lebih kurus dari beberapa tahun yang lalu. Juna sedikit percaya jikalau pamannya memang sedang sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
BROTHER [COMPLETED]
Teen FictionRumah singgah untuk para pemuda yang tak ada tempat pulang. Untuk mereka yang perlu kehangatan dari dinginnya jalanan malam. Dan untuk mereka yang ingin memulai kehidupan. "Kalian yang tak saling mengenal akan tinggal bersama dalam satu atap dan men...