39. FITNAH TAK TERDUGA

995 149 55
                                    

Ini Visual Ecan ya, Sayang.

Ini Visual Ecan ya, Sayang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Vioner tertidur dengan lelap. Ponsel yang masih menyala tergeletak di samping telapak tangan kanannya. Menandakan Vioner baru saja tertidur saking mengantuknya. Knop pintu kamarnya bergerak memutar, lalu terbuka secara perlahan. Bunga memasuki kamar Vioner dengan langkah sepelan mungkin. Hingga menutup pintu kamar kembali tanpa suara. Bunga menatap wajah damai Vioner yang terlelap. Melihat ponsel yang masih aktif, membuat Bunga sedikit ragu. Kalau-kalau ponsel tersebut berdering atau bergetar yang dapat membuat Vioner terbangun. Namun sudah terlanjur, Bunga tetap melanjutkan misinya.

"Ma ...."

Bunga tersentak kaget, membulatkan matanya menoleh pada Vioner. Ternyata anak itu masih tertidur, hanya mengigau. Bunga lega, kembali mendekati nakas yang menjadi tujunya. Bunga mulai mencari sesuatu yang ia ingin dapatkan. Sebuah surat perusahaan yang sekarang Vioner pegang.

"MALING! PAPA ADA MALING! PAAAAA!"

Vioner berteriak keras hingga membuat Bunga terjengkal saking kagetnya.

"Vioner! Ini Tante! Mama tiri kamu!" sarkas Bunga.

Vioner menatap wanita itu datar.

"Oh. Kirain maling. Soalnya masuk kamar orang tanpa izin itu maling 'kan?"

"Beraninya kamu!"

Pintu kamar Vioner terbuka. Menampilkan sosok Handika yang mengenakan pakaian tidur. Handika tampak panik melihat situasi.

"Ada apa ini? Vioner, Papa dengar kamu teriak maling. Mana malingnya?" tanya Handika.

Dengan gerakan dagunya, Vioner menunjuk ke arah Bunga.

"Tuh, di samping Papa."

Handika menoleh pada Bunga yang salah tingkah. Bunga melirik Vioner dengan tatapan penuh dendam.

"Kamu, Bunga?"

"M-Mas ... bukan gitu, Mas. Vioner salah sangka. Aku cuma mau pinjam pulpen doang buat tandatangan surat perjanjian mendirikan kafe bareng temanku," ujar Bunga harap-harap cemas.

"Aku kan punya banyak pulpen, Sayang. Ngapain kamu ke sini buat dapat pulpen," sahut Handika heran.

"Y-ya aku nggak kepikiran. Aku cuma kepikiran punya Vioner karena dia pernah sekolah 'kan? Aku lupa kamu punya pulpen juga."

Handika menggeleng. "Ya udah terserah kamu. Di tas kerja ada pulpen, kamu boleh ambil. Sekarang semuanya tidur. Vioner juga, tidur kamu."

"Iya, Pa," sahut Vioner.

Usai Handika berlalu pergi, Bunga menghampiri Vioner hendak menjambak rambutnya. Namun Vioner lekas menahannya. Tatapan mereka bertemu, saling menusuk satu sama lain.

"Aku tau Tante mau ngambil surat perusahan ke kamar aku. Aku emang masih muda, Tante. Tapi aku nggak bodoh. Aku emang nggak ngerti masalah surat perusahan. Makanya aku nggak nyimpan surat perusahan itu di sini," ucap Vioner.

BROTHER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang