56. SEBUAH TELEPON

974 164 66
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

"Arrghh!"

Teriakan histeris itu meluncur dari mulut Ninda. Ninda bangkit dan membelah jarak antara Juna dan Andro. Tanpa diduga Ninda malah mencoba merebut pisau dari tangan Bunga. Keadaan bertambah parah, baik Ninda maupun Bunga sama-sama tak takut dengan tajamnya pisau yang mereka perebutkan. Vioner melihat ujung pisau itu mengarah pada Andro. Vioner panik, hendak menarik Andro, tetapi Handika langsung menarik bahunya ke belakang.

"Jangan ikutan kamu!"

"Ayah awas—"

Juna sempat membeku ketika ujung pisau itu mengenai perut Andro. Mereka semua sama-sama terkejut. Ninda perlahan mundur dengan raut syok. Bunga pun sama, tangan gemetarnya menatap takut pada pisau yang ia pegang.

"Ayah!" pekik Fiko dan Jion berbarengan.

Andro meringis memegangi perutnya. Jion tak banyak bicara, ia segera memunggungi Andro dan Fiko membantu Andro naik ke atas pundak  saudara tertuanya. Andro mengaitkan satu pangannya pada leher Jion. Satu tangannya masih memegangi luka itu.  Sedangkan Fiko menahan punggung Andro agar tak terjatuh. Mereka segera meninggalkan rumah itu kecuali Ecan, Sugi, Vioner, dan Handika.

"Bunga! Apa yang kamu lakukan!" Handika menghardik Bunga.

"M-Mas ... aku nggak maksud buat Andro terluka—"

"Aku nggak peduli soal Andro. Yang aku permasalahkan adalah perbuatan kamu. Jadi kamu yang buat aku rugi hingga milyaran. Kamu dalang yang buat aku kehilangan perusahaan yanh paling berharga! Kamu buat aku malu, Bunga!" Tatapan Handika menyala-nyala. Handika tak pernah menyangka jikalau Bunga yang menyebabkan kekacauan itu semua.

"Mas maafin aku. Aku sebenarnya nggak—"

"Kamu harus tanggung jawab!" tegas Handika. Kemudian menatap Ninda yang masih terdiam dengan kepala menunduk. "Dan kamu Ninda! Kalian berdua harus menyerahkan diri kepada polisi untuk mempertanggung jawabkan semuanya. Dengan begitu putra sulungku akan bebas."

"Nggak Mas!"

"DIAM KAMU BUNGA!"

Handika menelepon pihak berwajib saat itu juga. Mereka tak punya pilihan lain selain pasrah dengan keadaan. Bunga yang menangis sejadi-jadinya dan Ninda yang menunduk dengan tatapan kosong. Handika menoleh pada Vioner. Vioner baru tersadar dari atensi penuhnya pada Bunga yang dulu menyakiti mamanya. Handika ingin mendekat, tetapi Vioner menjauh.

"Bang Sugi—kita nyusul Ayah," ucap Vioner.

"Lebih baik lo sama Ecan aja yang nyusul Ayah. Gue mau pantau mereka berdua sampai polisi datang ke sini," sahut Sugi.

"Oke. Vioner ikut gue," sahut Ecan.

Sesaat mereka hendak pergi, Sugi bersuara lagi.

"Bawa mobil hati-hati, Ehsan."

BROTHER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang