Isi Hati Alin. (59)

27 4 0
                                    

Menjalani waktu dengan terpaksa.
Menjalani hari dengan terluka.
Menjalani kehidupan dengan tersiksa.

Menjalani hidup dengan sengsara.

Apa itu bahagia?

Aku bahkan tidak pernah mengenalnya.
- Alin

Diruang serba putih, Alin terbaring lemah dengan mata yang tertutup rapat. Seolah sedang bermimpi indah....ia tidak membuka matanya walau hanya sedetik. Tapi....disatu sisi dirinya sangat ingin memberontak, bangun dari tidur panjangnya dan melihat prianya.

Tubuhnya diistirahatkan semesta. Dirinya serasa hancur. Sehancur-hancurnya. Perpisahaan adalah akhir dari kisah cinta mereka. jujur saja...apakah kisah Alin dan Algar bisa dikatakan kisah cinta?. Lebih banyak luka dari pada senang. Lebih banyak pengorbanan dari pada kebersamaan. Lebih banyak kisah pilu dibandingkan kisah romantis.

Alin menggerakkan tangannya perlahan. Otaknya terus memerintahkan dirinya untuk bangun. Namun mata dan tubuhnya serasa enggan mengabulkan permintaan itu...apakah....iu permintaan yang sangat sulit untuk ditepati?.

Akhirnya....entah percobaan keberapa. Mata Alin terbuka... samar ia melihat ampu yang amat benderang, membuat Alin menyipitkan matanya sedikit karena terlalu mengagetkan korneanya. Ia berusaha sadar sepenuhnya. Perlahan.... semua kesadarannya terkumpul.

"Algar...." itulah ucapan pertama yang keluar dari mulutnya setelah bungkam beberapa hari. Iya beberapa hari!.

Alin berusaha mengambil handphonenya di sisi kanan nakas. Tertulis 15 Desember. 3 hari sejak kepergian Algar. ia panik bukan main. Alin berusaha duduk walau tubuhnya butuh banyak istirahat. Tubuhnya yang masih lemah... serasa akan jatuh sewaktu-waktu. Tapi.... bukan Alin namanya jika kalah dengan rasa sakit.

Ia mencabut paksa infusnya. Membuat tangannya berdarah. Dengan tertatih-tatih.... Alin menggeret kakinya untuk pergi menemui Algar segera. Secepat mungkin.

Alin menyipitkan matanya karena pandangan kabur. Terus berjalan walau serasa akan mati. Nafasnya terengah-engah. Jantungya berpacu cepat. Keringat dingin mengucur. kaki yang sangat kaku untuk dipaksa berjalan. itulah penderitaan Alin. Ia melawan semua rasa sakit, semua rasa sengsara.... demi bertemu Algar.

--

Hujan. Sialnya.... mengapa hari ini harus hujan? Apa semesta mencegahnya untuk kabur dari rumah sakit?. Alin berhasil melewati beberapa perawat dan penjaga. Sehingga ia tidak dipaksa masuk ke kamarnya kemudian istirahat layaknya pasien.

Tapi mengapa.... mengapa kini alam menjadi penghalangnya?. Alin memegang dadanya yang sesak. Jantungnya serasa meledak. paru-parunya yang membutuhkan alat bantu... menjerit meminta tolong. Alin kesulitan bernafas. Tapi tidak apa..... ia bahkan tidak ingin hidup sekarang.

Hidup setelah melihat orang yang dia cinta berkorban untuk nyawanya?. Orang mana yang sanggup melakukan hal itu?. Alin berjalan... melawan hujan... berjalan perlahan... perlahan....perlahan.

--

Setelah setengah jam berjalan. rumah serba putih terlihat. Itu rumah Algar. Alin harap..... suatu keajaiban datang dimana Algar yang akan membuka pintu untuknya. Merenguhnya dan meyakinkan Alin bahwa..... semua akan baik-baik saja.

Dindong.... suara bel rumah Algar yang ditekan oleh Alin. "Please.... please.... tolong.... gue ga sanggup kalo bukan Algar yang buka pintu.... please.... semesta..... tunjukkan bahwa keajaiban itu ada" Alin dengan penuh harap memohon seperti orang gila di ambang pintu.

"Wennn.... Wenni?" Alin gemetar ketika melihat adik Algar dengan mata bengkaknya berdiri di depan pintu. Membukakan pintu untuknya.

Weni berdecak sebal melihat Alin yang berdiri dengan menyedihkan di hadapannya. Pakaian rumah sakit yang basah kuyup, bibir pucat, mata yang menghitam, membengkak dan tampak sangat mengerikan. Dari yang Weni lihat....dapat ia yakini bahwa tangis Alin bercampur dengan air hujan.

Likes For Lives.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang