Sebuah Jawaban (56)

11 9 3
                                    


Hellow!~

Welcome back!~

Siapkan mental kalian~

Jangan di skip narasinya bestie~

--

Jam 7 malam

Algar dan Alin menikmati pemandangan dari gedung tertinggi di kota. Namanya, Rain Tower. Setelah berjam-jam di gunung mereka memutuskan untuk kesini. Tapi satu hal yang perlu kalian tau dan kalian percaya. Algar dan Alin tidak membicarakan apapun selama berjam-jam.

Mengapa? Semuanya sibuk dengan kesedihan masing-masing. Keterpurukan yang mereka alami bukan sesuatu yang dianggap enteng. Ini seperti perjalanan orang yang akan dihukum mati. persis seperti itu.

Esok malam. Alin sudah tiada di bumi. Kalian bisa bayangkan bagaimana perih nya hati Algar?. jika kalian bilang 'Bisa' jelas-jelas kalian munafik. Bagaimana mungkin kalian mengerti? Pernah di posisi sama dengannya?.

"Pertunjukan air lagi bentar. Turun yuk" ajak Algar. Alin hanya mangut untuk menjawabnya.

Pertunjukan air adalah pertunjukan air mancur yang warna-warni sekaligus meliuk-liuk persis seperti ekor rubah. Itu sangat cantik untuk di pandang mata. Umumnya pertunjukan ini diadakan di Rain Tower sekitar jam 7 malam.

--

'Maaf.... kami sedang memperbaiki air mancur. Pertunjukan hari ini dibatalkan dan akan diadakan lagi mulai besok'. Tulisan itu menohok Algar. Rasanya ia baru saja tersambar panah berapi.

"Besok ya?" tanya Alin yang dia sendiri sudah tau jawabannya.

"Ga ada hari esok bagi gue" lanjutnya. Algar membasahi bibir bawah dan atasnya dengan cepat. Seolah ia sedang khawatir soal sesuatu.

"Gue beli minum ya?" tawar Algar. Mengalihkan pembicaraan.

"Boleh. Cola ya"

"Oke.... tunggu sini"

Alin tersenyum melihat punggung Algar yang dengan cepat meninggalkannya. Bibir Alin perlahan keriting. Entah mengapa ia tiba-tiba menangis. Sudah berapa jam ia menahan isak tangisnya sampai-sampai kepalanya serasa berdengung seolah mau pecah.

Alin berjalan menjauhi area air mancur. Ia butuh tempat aman untuk bersembunyi. Ia tidak ingin Algar melihatnya lemah. Apalagi menangis. Sangat menyedihkan bukan?. Akhirnya tempat persembunyian sempurna Alin temukan. Ia terduduk di semak-semak.

Semak-semak yang cukup liar akan mempersulit Algar melihatnya. Apalagi... di samping Alin ada pohon yang amat besar. Isakan tangis terdengar. Langit bergemuruh seolah turut menemaninya menangis. Alin memegang dadanya. Hatinya serasa hancur.

Ia berharap apabila hatinya hancur menjadi keping-keping. Kepingan itu masih bisa ia tahan dengan memegangnya seperti ini. Nafasnya tersenggal-senggal. Hiks...hiksss suaranya. Alin menyekanya berkali-kali tapi itu terus keluar tanpa henti.

"ALIN!" suara teriakan Algar mencarinya menyibak telinga Alin lembut.

"ALIN!" teriak Alin lagi kini sambil mendekatkan kedua tangannya di mulut.

"ALIN LO DIMANA?"

"Maaf... hiks... Al...Gar.." ucap Alin terbata-bata karena tangis. Suara itu hanya di dengar oleh dirinya sendiri.

Algar mulai panik. Ia membuang plastik isi minuman dengan kasar, mengusap rambutnya dengan keras. Syaraf di otaknya mendadak tidak berfungsi. Blank!. Jadi... Algar menjambaknya, berharap sebuah ide datang.

'Algar..... walau nanti gue ga sama lo lagi... lo bisa ya cari gue kayak gini sesekali?.... rindu sama gue sekali aja... inget gue..datang ke makam gue' batin Alin bersuara. Dia terus menangis tanpa henti. Jika waktu bisa berputar. Alin ingin memperbaiki sikapnya agar sakit yang dia hadapi tidak terlalu berlebihan seperti saat ini.

Likes For Lives.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang