Halo Semuanya~
Thanks buat 1k pembaca~
Thancu~
Happy reading~
--
Alin melangkahkan kakinya meninggalkan ruang Club yang kini nampak sangat mengerikan baginya. Algar marah padanya. Alin maklum itu. Si brengsek mana yang tidak dendam jika adiknya diperlakukan lebih buruk dari binatang?.
"Im not antagonis" Alin tersenyum samar kemudian air mata mengalir dipipinya. Ia tidak jahat. Lebih tepatnya sudah tidak jahat. Tidak ada yang merangkul tangannya. Bahkan, satu-satunya sumber kebahagiaanya telah pergi juga.
"Aww" Alin meringis. Ia melihat sumber sakitnya. Ternyata yang nyut-nyutan adalah kakinya. Alin duduk di kursi panjang koridor, membuka sepatunya. Darah mengalir dengan derasnya. Sejak kapan luka menganga itu ada?.
Alin berusaha mengingat. Ternyata, ini karena ia tersandung dan tanpa sengaja kakinya terkena pecahan sewaktu ditarik Algar. Bagaimana mungkin ia baru menyadari rasa sakit dari luka itu sekarang?.
Alin menaruh sepatu dan kaos kakinya di lantai marmer mengkilap. Bewarna keemasan, iya memang Almeta semegah itu untuk masalah gedung.
Algar lewat di hadapan Alin. Sumpah demi tuhan! Alin sangat berharap tangan Algar tertulur menolongnya. Ia memandang penuh harap. Tapi, Algar tak acuh terhadap Alin. Bahkan melirik saja tidak. hati Alin berdenyut. Ia tersenyum "Gue ga jahat lagi kok Gar..." Alin memandang punggung Algar.
"Dih orang muna ada disini. pantes baunya semerbak banget" suara seorang gadis yang baru saja menaiki tangga kemudian melihat Alin yang sedang meringis. Gadis itu menendang sepatu Alin.
"Ups sorry Ratu gue ga sengaja" ujar sang gadis dengan nada menyindir. Alin paham, ia tau bahwa si gadis sengaja. Tapi... Alin tak mau berdebat. Sudahlah.
"Gimana rasanya? Rasa sakit lo bahkan ga ada apa-apanya dibading rasa sakit adek gue" suara Algar yang muncul dari hadapan membuat Alin menegak saliva kemudian membulatkan tekadnya untuk mengangat kepala.
"Gar, maaf...." Alin memandang Algar dengan putus asa. Cuma maaf yang bisa Alin lakukan, Kemudian melanjutkan langkahnya yang semakin susah. Sumpah! Sakitnya ga ketulungan.
Alin akhirnya berhasil meraih pantopel yang susah payah ia ambil. Ia kemudian memasangkan sepatunya dengan terpaksa. Well, tidak ada yang berniat menolongnya. Tidak ada yang berniat menanyakan apakah ia baik-baik saja?. Bahkan Algar pun sudah muak dengannya.
--
Seharusnya..... gue sadar... dari awal Algar bukan untuk gue. Weni adalah saudara Algar satu-satunya. Dan menghancurkan Weni... sama aja seperti menghancurkan Algar.
Seharusnya gue sadar...... gue ga berhak pindah ke Almeta. Bertemu sama Keenan, Sarra, Mina, Talita. Apalagi pacaran sama Algar.
Gue sudah menghancurkan perasaan Algar hancur sehancur-hancurnya, runtuh... hingga tak berbentuk. Masih pantaskah gue bahagia?.
Batin Alin bersuara, ia mengehela nafas beberapa kali.lebih sering dari biasanya. Tak ada yang menemani selain air mata. Air mata yang merupakan jeritan kesakitan dirinya sendiri. Ia berdiri di Loteng. Memandang Almeta dari sini... sangat indah.
"Ngapa lu?" seseorang yang bicara disampingnya membuat Alin refleks mengusap air matanya.
"Keenan?"
"Ga.... gue Lee Min Hoo" Keenan berdiri disebelah Alin sambil menyesap minuman oreonya.
"Emang sinting lo" balas Alin geleng-geleng kemudian duduk di kursi yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Udah jangan di denger orang ngomong apa.... anggep aja lagi kesurupan jaran goyang" Keenan menidikkan bahu santai.
"Atau mungkin kesurupan reog..... atau kuyang?" lanjut Keenan mencoba menghibur Alin walau garing.
"Kenapa lo masih mau ngomong sama gue Kee?"
"Karena orang waras pasti tau mana yang disebut baik mana yang nggak" jawab Keenan sok puitis.
"Jadi lo ga waras?" sela Alin sambil tersenyum centil.
"Yeeee.... maksud gue mereka yang ga waras"
"Sok iye lo Kee" cibir Alin.
"Ni...ni..ni.... cium ketek gue ni.... sebel gue" Keenan mengangkat keteknya kemudian memajukannya ke wajah Alin. Sialan! Mana baunya kayak bau neraka!.
"Ketek dajjal!" cerca Alin menjauh dari Keenan. Ia sedikit tertawa...
haruskah Alin melepas Algar yang membelakanginya dan pergi kepelukan Keenan yang mendekatinya disaat semua orang menganggapnya lebih buruk dari bangkai?.
--
Saat siang hari datang. Alin membeli seikat Lili untuk Fara. Gadis yang ia bunuh dulu. Orang bilang....Jangan nodai tangan mu dengan darah. Artinya, jangan membunuh. Tapi... pembunuh seperti Alin memakai lidah menjadi pedang. Mana yang lebih kejam? Psikopat dengan pisau atau Alin dengan lidahnya?.
Mata Alin yang membengkak menatap guci yang berisi abu Farra. "Gue dateng.... gue minta maaf karena dateng" Alin menunduk. Ia meletakkan bunga Lili itu di dalam vas yang disiapkan.
Mata Alin sembab. Bibirnya kering pucat. Bulatan hitam di matanya yang menujukkan ia kurang istirahat. Deritanya semakin menjadi-jadi. Suara langkah yang mendekatinya membuat Alin menoleh kearah sumber suara.
"Weni....?" Alin menyapa.
"Kak Alin?....." lirih Weni gemetar ketakutan. Ia berbalik kemudian berlari sekencang-kencangnya. Bahkan, bunga mawar yang Weni bawa tidak sempat ia masukkan ke dalam vas.
"Wen...! Tunggu!"
"Kak please aku pengen sendiri!" lirih Weni terus berlari. Ia ingin menjauhi manusia hina seperti Alin. Alin teralu menakutkan untuk didekati. Weni trauma bagaimana Alin menyiksanya dulu.
"Wen.... weni" Alin berlari mengejar adik kelasnya. Ia ingin meminta maaf dengan benar. Alin rela berlutut sampe lututnya membiru. Ia harus menebus dosa-dosanya.
"Weni" Alin mempercepat langkahnya mengejar Weni yang telah jauh mendahuluinya. Brakkk....... bola mata Alin menangkap sesuatu yang membuatnya menjerit "AAAAAKKKK" teriak Alin di rumah abu (Pemakaman) yang sepi.
Weni berguling dari tangga yang membuat darah mengalir dari kepalanya posisinya telungkup dan tak bergerak . Alin mundur beberapa langkah..."Ngggak.... gue ga bunuh dia... gue ga bunuh dia.... nggak... NGGGAKKKK!." Alin geleng-geleng ketakutan. Weni..... dibunuh oleh Alin?{}
KAMU SEDANG MEMBACA
Likes For Lives.
Genç Kurgublurb: {FOLLOW SEBELUM BACA!} Kalian tau apa itu hidup? Kalian tau kapan kalian mati? Kalian tau... hal apa yang membuat kalian mati? yah... tak ada yang tau kecuali Tuhan pastinya. Namun, Alin selebgram dengan kehidupan sempurna tiba-tiba terken...