Arc 1: Kritia
23 September 2007
Suara rintikan hujan terdengar menyentuh langit-langit di atas sebuah ruangan gelap yang ditemani oleh satu perapian. Hawa hangat dari perapian menerpa seorang anak, merenungi api yang membakar kumpulan kayu kecil di hadapannya. Sembari bersandar pada kursi berbantal empuk, bantalan selimut telah menyelimuti tubuhnya untuk memperketat diri untuk tidak membuatnya mengigil.Secangkir beruap ganas telah diletakkan di samping dia, menemaninya dan diminum saat disegani. Pada saat itulah dia mengambil cangkir tersebut dan meliriknya sejenak. Cangkir itu beraroma memikat hidung serta kepalanya untuk segera meneguknya. Warna cokelat gelap yang terpampang pada minuman itu semakin lama membuatnya mendekatkan cangkir itu ke hadapan mulutnya. Matanya yang terpejam seketika terbuka membawanya ke dunia baru dalam kelezatan yang didapat seusai meminum minuman tersebut.
"Caoca, enak sekali." Dia tertegun dan meraba pipinya sendiri saat panas di dalam mulutnya turun.
Pintu kamar mendadak dibuka, suara gesekan pintu dengan lantai tidak dapat terdengar jelas olehnya yang kini terbalut dalam kesenangannya sendiri. "Lily, kemarilah!" ajak seorang wanita bernada lembut kepada anak itu.
Wanita itu memberikan tangannya untuk diraih Lilya. Rambut biru gelap bersentuhan dengan ujung tangan. Tinggi, tetapi tidak melewati pintu. Dia tersenyum sembari menunggu jawaban dari Lilya.
Tanpa berlama-lama, Lilya berdiri dari perapian dan melepas selimutnya. "Aku datang Ibu."
Memegang tangan ibunya, mereka berdua berjalan melewati koridor rumah. Pelahan mereka akhirnya tiba di ruang tamu. Sesosok lelaki tinggi berambut seiras dengan mereka berdua telah menunggu kedatangan mereka berdua, membaca sebuah buku sembari duduk di sofa.
"Ayah!" panggil Lilya kepada sosok ayahnya.
Dua buah kuping di atas kepalanya berkedut merespon panggilan dari Lilya. Ekor panjang berwarna biru gelap bergoyang sembari berdiri menghadap Lilya. "Pagi Lily, apa tidurmu nyenyak kemarin?" tanya ayahnya.
Lilya mengangguk, melepaskan tangan ibunya dan berlari menghampiri ayahnya. Akan tetapi, Lilya berlari terlalu kencang hingga dia tidak sengaja menjatuhkan dirinya sendiri sehingga keningnya menabrak lantai.
"Ahh nak, sudah kubilang untuk berhati-hati di sekitar rumah," ucap ayah. Kedua orang tuanya menghampiri Lilya dan membantu Lilya agar dia dapat berdiri.
Saat Lilya berdiri, terdengar suara rintisan serta tetesan air dari kedua matanya. "Aku tidak apa, aku ... tidak apa-apa." Lilya menahan keinginan untuk berteriak akibat dampak jatuhnya yang cukup menyakitkan, tetapi tidak menimbulkan luka serius.
"Kau anak yang kuat Lily. Namun, biasakan juga untuk tidak memendam rasa sakit itu. Keluarkan saja, itu akan membuatmu merasa lebih baik," ucap ibu.
Lilya berjalan tanpa mengeluarkan suara dan duduk di samping sebuah kaca yang memantulkan tampilan dari dirinya. Lilya menoleh ke samping kaca itu, membuatnya melihat rupa dirinya sendiri.
"Rambutmu mulai memanjang ya," ucap ibu. Lilya tidak menjawab, tetapi dia dipenuhi dengan rasa tidak enak di dalam tubuhnya.
Lilya memperhatikan dirinya di balik cermin itu. Selama Lilya melihat itu, dia merasa kalau suatu saat mungkin dirinya di balik cermin itu akan bergerak tidak sesuai dengan kehendak Lilya. Namun, itu tidak mungkin akan terjadi. Itu seharusnya tidak dapat terjadi kecuali ada sesuatu di balik kejadian itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stellar Temporis - Sarnova
FantasyDisclaimer - Cerita ini "Sunshine and Rainbow" Stellar Temporis Vol 1 Demi-Human, sekelompok ras hibrida menyerupai manusia. Keberadaan mereka di dunia membawa sebuah pengaruh kepada manusia yang hidup bersama mereka. Akan tetapi, tidak semua manusi...