Episode 11 - Alasanku

86 7 4
                                    

"Iblis, mereka benar-benar telah merampas semuanya dariku. Ayah ... Ibu ...."

Berdiri di tepi tebing jurang yang tertutupi oleh kabut tebal, aku menghela napas beberapa kali sembari berpikir segala yang telah terjadi. Aku menepuk dadaku, tanpa hentinya mengeluarkan batuk. Hujan turun dengan deras, membasahi beberapa luka yang ada di sekujur tubuh. Luka itu memberikan sayatan merah, akibat terkena air hujan deras tersebut. Aku memeluk tubuhku, mencoba menutup sebagian dari luka yang ada. Hanya saja, semua itu justru membuat luka yang lain terbuka untuk disentuh oleh hujan.

"Sakit ...!" Tubuhku berdenyut-denyut setelah serangan tidak langsung tersebut.

Kakiku terasa seperti dililit besi dan turun bergesekan dengan bebatuan kasar, mengikis lututku. Aku meringis kesakitan, menahan usahaku untuk tidak berteriak. Napasku terengah-engah, kakiku mulai mati rasa

Infeksi, itu yang aku ketahui dari luka yang kudapatkan. Semuanya terbuka tanpa satu pun yang sembuh. Cepat atau lambat, aku akan menyusul mereka berdua. Itu sudah terjadi, sejak aku berniat untuk melompat jatuh dari tempat ini. Jika kematian cepat memantikanku, maka jadilah seperti itu.

Aku meraih ujung tebing yang tajam dengan sisa dari tenagaku. Lututku kembali bergesek dengan tanah dan aku menekannya untuk berdiri lagi. Aku merasa sesak di dada, seolah ada beban yang tak bisa kulepaskan. Rasa sakit itu kembali menyerangku, mengingatkanku kepada kematian mereka berdua di tangan iblis itu, tanpa kepala dan berapi di tepi hujan yang deras ini. Aku merasakan air mata yang mengalir di pipiku, tercampur dengan air hujan yang masih saja turun.

"Kita selama ini berada di sisi yang salah! Iblis adalah musuh kita, bukan Demi-human yang menjadi kambing hitam dari semua ini! Kita manusia ... menganggap iblis dan Demi-human sebagai ras yang sama. Tidak ... mereka berbeda." Suaraku bergema di ujung tebing ini, hujan pun tidak dapat menghentikan suaraku.

    Aku menunduk menghadap bawah jurang. "Kita semua bodoh ... dibutakan oleh emosi yang menjadi penggerak kita sehingga kita tidak dapat melihat yang mana yang benar."

    "Sudah tidak ada lagi yang dapat kulindungi, sudah ... tidak ada ... lagi—." Tubuhku terdorong ke depan, semakin dekat ke ujung.

    Aku menutup mataku, membiarkan suara untuk menuntun kematianku. Akan tetapi, ada sesuatu yang salah. Seisi tubuh terhenti sebelum aku dapat menyadarinya. Aku merasa kedatangan seseorang.

    Saat itulah aku mendengar suara yang merdu dan menyejukkan, seperti sebuah nyanyian. Meskipun suara hujan deras masih terdengar, nyanyian itu terdengar begitu jelas dan mengalun dalam hatiku.

    "Apa yang kau lakukan di tepi jurang ini?" Suara seorang perempuan berbisik. Suara itu terdengar lembut di telingaku.

Membuka mata, aku disambut dengan tubuhku yang masih ada pada tanah, tetapi jauh dari ujung tebing. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi, tetapi aku telah ditarik tanpa sepengetahuan sendiri. Seseorang telah turun tangan untuk menahanku, tapi siapa yang berkeliaran di hujan pada saat seperti ini. Dia ada di belakangku, napasnya masih dapat terasa.

Sejak awal aku memang telah berniat untuk terjun ke bawah tebing ini, mengakhiri hidupku. Namun, aku tidak ingin orang lain melihatku terjun ke bawah. Aku tidak ingin menambah beban emosi bagi orang lain, tidak setelah apa yang terjadi sebelumnya.

Aku menoleh. "Ini bukan urusanm—." Tiba-tiba aku tertahan saat aku melihat rupa perempuan itu.

Dari pandangan mataku, cahaya pada langit mendung ini menyinari sosok perempuan di hadapanku. Rambut biru terang menyerap segala cahaya, memberikannya rupa yang sangat tidak logis untuk berada di dunia ini. Mata biru selarasnya menatapku dengan pelan, mencemaskan keadaanku. Rupa menawan itu tidak dapat kuungkapkan dalam kata-kata. Dia adalah sosok termanis yang pernah kulihat dengan jas hujan hijau dan gaun putih yang dikenakannya.

Stellar Temporis - SarnovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang