Episode 15 - Kamera Stellar

22 4 10
                                    

    Seluruh lampu dimatikan dalam satu kontak dengan saklar, menyisakan sebuah ruang keluarga yang gelap dengan rembulan masuk melalui jendela. Cahaya biru gelap mendadak menerangi Lilya dan Louis yang tengah melihat satu sama lain. Louis berbalik, menimbulkan suara langkah kaki pada permukaan lantai. Gagang pintu dibuka dengan suara besi yang bergesekan dan decitan pintu. Kuping Lilya yang berada di kejauhan naik turun akibat suara tersebut.   

    Sembari melangkah masuk ke dalam kamar, Louis menoleh menghadap Lilya. "Kamarmu ada di seberang kamar lamamu."

    Selama dia masih melihatnya, Louis tengah membuka pintu kamar lamanya. Berarti, kamar baru Lilya sekarang ada di belakangnya. Dia mengangguk dan berjalan ke belakang. Suara langkahnya terdengar semakin banyak dan kuat.

    "Oh ya satu lagi Lily. Di sana ada—." Lilya menyadari bahwa langkah kaki kanannya tidak terasa sedikit pun, tetapi dia terus menurunkannya ke bawah.

    "Tangga." Lilya terperosok ke bawah lantai, menimbulkan suara ketukan yang keras.

    "Lily ...." Louis menepuk kepalanya, menunduk ke bawah Lilya.

    Dari tangga kecil yang mengarah pada sebuah pintu, Lilya menatap ke atas langit-langit dengan cahaya biru yang keluar melalui pupilnya. Untuk pertama kalinya, Louis melihat cahaya itu muncul dan mengingatkannya pada sesuatu.

    "Aku tidak apa-apa." Lilya sembari menekan lantai untuk menyeimbangkan tubuh.

    "Matamu seperti mata kucing di dalam kegelapan. Jika aku belum menyadari bahwa kau adalah seorang Feline, mungkin aku akan terkejut." Louis berjalan mendekatinya.

    "Apa itu kucing?" Lilya bertanya.

    "Itu sebutan lain untuk makhluk dari ras Feline. Makhluk kecil seperti bola bulu yang dapat membuat orang lain peduli terhadapnya."

    Kuping Lilya berkedut mendengar ucapan Louis. Lilya meneguk liurnya, terdiam tidak menjawab. Dia menunduk, kepalanya menghadap ke lantai yang disinari cahaya rembulan. "Aku ... ingin dipedulikan."

    Kepala Louis ditelengkan. "Bukankah aku sudah peduli kepadamu?" Louis tersenyum, mendadak membuat Lilya menahan kepalanya untuk berbicara.

Dadanya berdetak dengan sangat kencang hingga ingin lepas. Matanya membeku, tidak menyangka ucapan Louis dapat membuatnya seperti ini. Lilya terdiam sambil memperhatikan lelaki tampan yang berdiri di depannya. Dia merasa ragu-ragu dan gugup saat dia mendengar suara lembut Louis menyampaikan kata-kata yang menyentuh hatinya. Pipinya memerah, tangan gemetar, merasakan kepedulian dari Louis.

Tangan Lilya digerakkan menyentuh gagang. Sembari melihat Louis, "Ma ... malam!" Lilya bergegas membuka pintu dan masuk ke dalam kamarnya.

    "Malam, Lilya." Louis kembali masuk ke dalam kamarnya.

    Di belakang pintu yang tertutup, Lilya bersandar menekan dadanya. Napasnya terengah-engah, sulit untuk dihentikan. Dia tidak dapat mengedipkan mata, sesuatu menahannya. Pupilnya mengecil, menengok ke lantai. Badan Lilya perlahan turun menyentuh lantai. Dia memeluk kaki dan bersandar padanya. Matanya terpejam.

    "Apa ... yang kurasakan ini?" Lilya bergumam perlahan membuka matanya. Tangan melepas dada.

    Tiba-tiba, Lilya merasa tangannya telah menyentuh sesuatu di dekat lehernya. Sesuatu yang panjang, keras, dan berongga. Tangannya perlahan turun seperti menuruni dan rasanya seperti ikatan tali yang diikat pada leher hingga ke sesuatu yang menghentikan tangannya. Namun, Lilya tidak dapat melihat satu pun objek yang dia lihat. Semakin dia merasakan sentuhan itu, semakin terasa kepalanya tertunduk turun.

    Sesuatu memercik dari atas kepalanya, disadari saat cahaya biru menerangi lantai kamar Lilya. Tangannya naik untuk memeriksa, tetapi tidak ada apa pun selain cahaya yang terpotong oleh bayangan tangan Lilya sendiri. Dia mengira kalau semua ini hanya sebuah halusinasi, tetapi ada sesuatu yang salah padanya. Semua ini terlalu nyata untuk dirasakan. Tidak mungkin jatuh tadi telah membuatnya seperti ini.

    Kamar tidur yang baru diterokai menyuguhkan suasana yang tidak membuat gelisah untuk dia. Lantai berkayu yang terawat rapi tanpa ada satu pun partikel debu melayang di sekitar. Letak tempat tidur yang strategis di tengah-tengah ruangan membuat tampilan ruangan terkesan seimbang. Pintu jendela yang besar memancarkan cahaya alami yang menyegarkan. Suasana kamar yang diam dan sejuk menambah kesan kenyamanan bagi Lilya yang pertama kali masuk ke ruangan ini.

    "Kamar ini memberikan sesuatu yang janggal. Ada sesuatu yang ingin memberikanku jawaban." Lilya melihat sebuah cermin pada sebuah lemari di depan kasurnya.

    Berjalan menuju cermin tersebut, Lilya menengok ke bawah tempat tangannya memegang sesuatu. Perlahan-lahan bobot benda itu semakin ringan yang membuat Lilya tidak mengerti apa yang sebetulnya terjadi. Langkahnya terhenti di depan cermin, kepalanya diangkat pada tampilan dia pada cermin.

    Sebuah cincin besar melayang di atas kepala Lilya, bersinar biru terang bersama dengan benda yang menunjukan diri di lehernya. Matanya melirik kedua benda asing padanya, tidak tahu apa yang telah dia saksikan saat ini. Namun, benda di atas kepala itu membuat mulutnya terbuka dengan sorot mata yang lebar.

    "Sebuah halo?" Tangan diangkat mencoba memegang halonya, tetapi tangannya menembus halo tersebut.

    Matanya turun tertuju pada benda aneh bergelantungan di bawah lehernya seperti kalung. "Tidak ... bisa kulepas!" Lilya mencoba menarik benda tersebut, tetapi semua tenaganya sia-sia.

    Dari segala cahaya yang mengisi kamarnya, ada sebuah lensa terang di tengah-tengah benda tersebut. Dengan rasa ingin tahu yang mendorongnya, Lilya memegang lensa tersebut. Akan tetapi, hawa panas menyerang jemari tangan Lilya, seketika membuat Lilya lekas melepas tangan dari lensa. Dia berteriak di dalam kepalanya, dan memasukkan tangan ke dalam mulut, mengecupnya beberapa kali hingga panas itu menghilang. Hanya lensa itu yang panas, sisanya tidak terasa sama sekali.

    Meskipun percobaan untuk membuka lensa itu gagal, Lilya akhirnya mengetahui ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Lilya yakin kalau dia tidak pernah memiliki kedua benda ini sejak lahir. Berada di Kritia juga tidak meyakinkannya bahwa pada saat itu dia memiliki ini. Namun, semua ini terasa sakit saat terbangun di Bytn. Louis adalah orang pertama yang membangunkan kesadarannya. Sejak saat itu, Lilya selalu merasakan kejanggalan pada dadanya. Louis pasti memiliki jawaban untuk kamera ini.

Stellar Temporis - SarnovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang