Prolog

211 20 19
                                    

    Kobaran api meluas di seluruh dataran yang dulunya damai dan sunyi. Lidah-lidah itu terjulur melahap ranting-ranting pohon, perlahan menghanguskan semua yang tertanam di dalamnya. Satu per satu pohon tumbang menyebabkan api menjalar semakin ganas. Dataran itu berubah menjadi lautan api. Dipenuhi asap hitam pekat, langit merah gelap dihiasi dengan kilatan cahaya sekejap itu runtuh dengan kabut tebal yang berserakan di dataran tersebut, menegunkan siapa pun yang ada untuk menyaksikannya.

    Gendang bersuara lantang pada kuping yang berkedut. Setiap tepukan itu terdengar, berbagai rasa mencemaskan beranjak keluar. Tanpa disadari, dia mulai mencium bau asap bercampur bau tanah yang membuat tenggorokannya sesak. Matanya terbuka, memperlihatkan permukaan rambut biru yang telah kotor. Tubuh lemahnya bersentuhan dengan tanah yang dingin, sekejap meraih kesadarannya untuk bangun.

    Pelan-pelan dia berdiri, kaki gemetar. Bau pembakaran itu menusuk hidungnya yang langsung ditutup jemari kasar. Dia menatap ke bawah, secara tiba-tiba membuka mulut sehingga asap termasuk secara paksa. Bekas-bekas darah mengering telah menodai pakaian hingga tubuhnya sendiri. Kedua kaki tidak sanggup untuk bergerak, tetapi ada sebuah perasaan yang memaksanya untuk terus maju.

    "Ini ...." Suaranya serak, gadis itu memunculkan suaranya.

    Gadis itu berjalan pelan melewati padang rumput. Api sekitar memanaskan darahnya. Jasmani telah melemah, akibat kejadian yang telah mengerahkan seluruh tenaganya. "Tidak ... ini tidak mungkin."

    Yang dilihatnya hanya pemandangan suram dari sebuah padang rumput. Tumpukan yang hangus membuatnya mengingat beberapa orang yang pernah ditemuinya. Entah mengapa, dadanya sakit saat melihat hal tersebut, terlebih pada sebuah sosok yang berdiri di tengah-tengah kobaran api yang melahap mereka. Pandangannya tertuju ke depan, melihat kejauhan yang semakin dilahap api. Gadis itu terhenti, tidak mempercayai seluruh yang telah dia lihat. Secara mendadak, sosok itu berbalik langsung melotot padanya.

    Cahaya hitam keluar dari dalam matanya yang masih menunjukkan pupil putih. "Kamu sudah terlambat," ucap orang itu sembari menunjukkan rupanya yang dibawa oleh cahaya api, seorang pria.

    "Bagaimana ...? Seharusnya kau sudah mati," cenggang gadis itu menatapnya. Tubuhnya membeku di tempat, tidak dapat mempercayai siapapun yang berdiri di depannya.

    "Apa kamu selalu ketakutan seperti ini saat melihatku? Atau, kamu menjadi seperti ini karena menyadari sekelilingmu?" tanyanya.

    "Itu, tidak ...." Gadis itu terdiam, melirik sekelilingnya.

    Semburan api terpicu di belakangnya, menyinari tubuhnya yang semakin tegak. "Tidak kah kamu lihat sekelilingmu Lilya? Lihatlah sekali lagi! Ini adalah hasil dari kepercayaan kepada yang ada di atas sana. Kamu terbawa arus hingga aku harus bertindak."

    "...."

"Kalian semua adalah bidak, dikontrol oleh Para Dewa. Sedangkan aku di sini, adalah bidak asing tanpa keberadaan yang jelas, seorang anomali tanpa kendalian mereka," lanjut orang itu.

    Suara rantai bergelantungan di antara leher Lilya. Sebuah kamera muncul dari bentuk yang awalnya transparan. Partikel cahaya biru juga ikut memeriahkan kedatangan kamera itu, begitu juga dengan pria itu yang menyiapkan diri. Sebuah bilah pedang mencuat keluar dari lensa hingga gagangnya dapat dilihat dengan jelas. Tangannya menarik keluar pedang itu. Akibat tarikan itu, percikan listrik beserta seluruh partikel cahaya keluar mengisi seluruh pemandangan suram di sekitarnya menjadi perpaduan antara merah dan biru.

    Bersama dengan langit yang penuh dengan germelapan asap yang tidak ada hentinya mengusik ketenangan, pria itu menutup matanya. "Tidak ada yang dapat menghentikanku Lily. Mereka semua telah mengelilingimu, terbakar bersama teman-teman yang telah kau buat. Sudah tidak ada lagi ... yang dapat menghentikanku, kecuali kamu seorang."

    "Hah?" tanyanya dengan napas rendah, sesak.

    Dia membuka mata, merentangkan kedua tangan berlawanan seolah ingin memberikan pilihan kepada Lilya. "Hanya ada kamu dan aku di sini Lily, di tanah kelahiranmu yang kini telah hancur terlalap api. Tidak ada siapa-siapa lagi yang akan menyelamatkanmu. Dunia ... telah berakhir."

    "Dunia belum berakhir! Aku tahu itu. Kau mencoba untuk mempermainkan pikiranku." Lilya menghunuskan pedang pemercik listrik kepada orang itu. "Itu tidak akan berfungsi lagi padaku!"

    Rentangan tangan itu ditarik kembali. Wajah dari orang itu mendadak muram. Napas dia pun mengeluarkan uap. "Nampaknya kamu benar-benar membenciku, Lilya."

    Gadis bernama Lilya sama sekali tidak menjawab. Dia mengambil satu langkah, berbunyi keras. Mulut dibuka, menghisap udara kotor yang tersisa ke dalamnya. Saat ditutup, percikan listrik merambat hingga bertemu dengan dinding api di belakangnya. Rasa meledak-ledak dapat dirasakan. Getaran berlanjut di belakang Lilya, tetapi itu tidak membuat fokusnya goyah dari sosok yang ada di depannya.

    Simbol berwarna merah beranjak di samping bahunya, mengeluarkan sebuah pedang bercorak tajam dengan berbagai rongga-rongga tipis yang mencengkam. Pria itu melangkah ke depan. "Majulah Lilya! Pertarungan ini akan menjadi yang terakhir bagi salah satu dari kita. Di antara kamu mengalahkanku dan menjadi seorang pahlawan, atau bergabung dengan teman-temanmu sebagai bagian dari Dialopis."

    Lilya menutup matanya. Genggaman pedangnya gemetar. Napasnya ditarik. "Diam!" jawab Lilya membuka mata dan memasangkan kuda-kuda, tidak ingin melanjutkan pembicaraan.

    Pria itu melesat maju, membalikkan bilah pedangnya. "Sebuah kehormatan untuk melawan seorang Bystander. Tunjukkan padaku semua yang telah kamu lalui, Lilya!" Dengan sebuah ayunan kencang, Lilya menutup mata membiarkan tubuhnya bergerak dengan sendirinya.

Stellar Temporis - SarnovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang