Mata Louis terbuka diterangi cahaya rembulan dari jendela di kanannya. Terbaring di kasur dinginnya, ia naik untuk duduk di kasurnya. Sebuah sensasi memaksanya untuk meraba mata kanannya, mata itu berkedut tidak jelas mengapa. Akan tetapi, ia benar-benar sudah melihat sesuatu yang dulu sekali terjadi.
"Hari itu. Kelahiran dan kematian. Urrrhh!" Secara tiba-tiba, Louis memegang dadanya.
Kedutan matanya tidak dapat berhenti seiring ia melihat permukaan selimut. Sebuah sensasi menghentikan segarnya udara masuk. Louis melirik sekitar, tidak ada seorang pun, apalagi rasa akan keberadaan seseorang di sekitarnya. Jika begitu, mengapa tubuhnya mengigil saat ini. Tubuh ia telah ditutupi dengan selimut hangat, tetapi tidak dapat menyerap dingin yang menusuknya beberapa kali. Napas dicoba tarik, tetapi sulit dengan terengah-engahnya Louis melepaskannya. Detak jantungnya terdengar sangat cepat. Kepalanya sakit.
"Tidak ..., ini mungkin karena aku telah mencapai stadium—. Ini, yang ke berapa?" Louis menoleh ke atas, tempat sebuah jam terpasang.
Jam pada dinding menunjuk pukul 11 malam. Hari masih belum berganti. Kepalanya ingin terjun menyentuh bantal, tetapi pikirannya menolak perintah dari tubuhnya tersebut. Tangan menepuk kepala, menyandarkan kepala tersebut agar tidak jatuh dalam posisi tegak.
Louis menoleh menghadap ke arah jendela yang diselimuti oleh horden. Di luar, sebuah benda putih melayang di atas langit dari kejauhan. Louis menghela napasnya, melihat benda putih tersebut.
"Malam ini." Louis mendekati jendela, tanpa melepas pandangannya terhadap benda putih tersebut.
"Stellarin." Dengan milyaran bintang bercahaya menghiasi angkasa, Louis mengamati seisi langit tersebut tanpa melewatkan bintang-bintang berekor yang melintasi tempat ia mengamat.
Terdiam melihat kayanya langit di malam ini, kepala Louis tertunduk. Ia tersenyum, tetapi meremas dadanya secara kuat. Napasnya terdengar sesak, bahkan hingga ke luar pintu yang tidak tertutup. Beberapa suara terdengar, beberapa angin, dan langkah kaki seseorang di luar. Meskipun itu, Louis sama sekali tidak menyadari suara langkah kaki tersebut dengan betapa kecilnya suara itu ketimbang angin berhembus memasuki rumah.
Lilya menengok dari sela-sela pintu yang belum tertutup rapat dengan menelengkan kepala. Dia terperangah melihat seseorang terduduk di kasurnya, menatap ke luar jendela. Tubuhnya mengigil dengan suhu yang mendadak meninggi ini.
Lirikan matanya melirik Louis, kini menunduk hingga ia mulai berbicara sendiri. "Kau tahu Lino, kau selalu menyukai suasana malam Stellarin ini. Kau selalu melihat ke atas langit dan berusaha menggapainya. Kau menginginkan bintang-bintang di atas menjawab panggilanmu. Namun, kau sendiri adalah mereka. Untuk apa kau melakukan itu?"
Lino, Lilya tidak mengenal siapa itu Lino. Namun, dengan nada yang dikeluarkan oleh Louis. Sepertinya dia adalah orang yang penting baginya, mungkin itu adalah alasan di malam ini ia sedikit berbeda. Di malam ini, ia lebih mengeluarkan emosi dan nyaris tidak bertingkah seperti dirinya yang saat itu. Perasaan hampa itu membuat Lilya semakin mendorong pintu untuk mendengar lebih jelas suara Louis.
"Hancurnya bintang itu telah membuatmu mencapai 'Kerusakan total'. Aku melihatnya sendiri ... di malam yang disinari jutaan bintang itu. Mereka tidak dapat menghentikanmu, tidak ada yang bisa. Hanya saja, kau memilihku, dari semua orang yang hadir di gurun itu."
Louis ini adalah Louis yang berbeda, dari segi mana pun. Lily tertegun, tidak dapat memalingkan matanya dari Louis lain ini. Ia terlihat berbicara dengan seseorang, tetapi tidak ada seorang pun di sekitarnya. Louis berbicara kepada dirinya sendiri, atau ada orang lain yang ada di tempat ini, dan Lilya sama sekali tidak menyadarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stellar Temporis - Sarnova
FantasyDisclaimer - Cerita ini "Sunshine and Rainbow" Stellar Temporis Vol 1 Demi-Human, sekelompok ras hibrida menyerupai manusia. Keberadaan mereka di dunia membawa sebuah pengaruh kepada manusia yang hidup bersama mereka. Akan tetapi, tidak semua manusi...