Episode 40 - Pemberian Obor Selanjutnya

42 6 12
                                    

Darah menetes di setiap langkah yang dilalui. Hujan semakin lama membasahi tubuh berdarahnya. Langkah kakinya mulai melambat. Lilya tersedak-sedak, akhirnya berhenti dengan bersandar di samping pohon.

Kedua tangannya menyilang di antara dadanya. Matanya nyaris terpejam. Tubuhnya yang bersandar itu turun terduduk. "Dingin."

Dia mencoba untuk mencium udara sekitar, tetapi tidak terasa apa-apa. Sandarannya ditinggalkan, Lilya kembali berjalan mengikuti nalurinya yang tersisa. Dia melangkah pelan, ke depan sebagai satu-satunya pilihan yang tersisa. Dia harus pergi dari hutan ini, mencari rumahnya.

"Aku sudah lelah."

Selama Lilya berjalan, dia merasakan hal yang tidak enak di dalam benaknya. Dia tidak dapat melakukan apa-apa, semuanya hancur berantakan.

"Louis telah mati, dan aku tidak berhasil menyelamatkannya. Apa lagi yang tersisa untukku, selain mencari lagi ... alasanku?"

Jumlah darah yang keluar semakin membuatnya lemah. Dingin dari hujan menusuk tubuhnya sama seperti saat itu. Suara yang seharusnya tidak ada kembali menghantuinya, mengingatkannya pada betapa tidak bergunanya dia.

"Apa karena aku Demi-human? Apa karena aku tidak bisa membaca situasi lebih baik? Aku seharusnya sadar. Aku seharusnya bisa menolong mereka."

Penyesalannya, kembali jatuh menimpa tubuhnya. Di setiap langkahnya, muncul berbagai ucapan untuk menjatuhkannya lebih dalam ke dalam pusaran kebencian yang telah bernaung selama dia mendengar kata-kata itu.

"Apakah aku memang berhak memiliki kebahagiaan, hanya untuk diambil lagi oleh orang-orang yang lebih kuat?"

Pada akhirnya, Lilya berhenti bergerak, membiarkan setiap tetesan meredam hatinya yang sudah berat. Dia melirik ke belakang, melihat jejak kakinya yang meninggalkan kehampaan yang seumur hidup akan bersisa hingga tercampur lagi dengan tanah. Gema langkah kakinya telah terhenti dalam satu tarikan petir dari langit.

Lilya gemetaran untuk menunduk ke arah genangan air yang dapat menampilkan wajahnya. Dia sangat berantakan, mengingatkannya pada dirinya sembilan tahun yang lalu di mana ketakutan ini bangkit. Tangan kanannya memegang lengan kirinya, bergetar selama dia masih melihat ke bawah. Rintisan kecil dikeluarkan, lama-lama membuatnya melangkah mundur penuh keputusasaan.

"Semuanya ... berputar."

Setiap langkah yang diambil, dia tersandung pada kenangan akan kegagalan yang dirasakannya. Cabang pohon terinjak, menimbulkan suara patah yang mencerminkan harapannya yang telah hancur. Air matanya bergabung dengan hujan, tidak lagi terlihat oleh dunia, sama seperti keberadaannya sendiri.

"Aku tidak ingin semua ini terulang lagi, tetapi telah terulang lagi. Semua yang kucintai, mati."

Cahaya pada matanya meredup, bersama dengan kepalanya yang menjadi ringan. Tubuhnya bergerak dengan sendirinya, menjatuhkan diri ke depan. Matanya tidak dapat ditutup, tertahan penyesalannya.

Sebelum Lilya dapat jatuh secara penuh, dua buah tangan menangkapnya. Suara hujan telah menghilang dari kupingnya, kini dia hanya mendengar suara napas yang pelan, tetapi dia tidak peduli lagi.

"Dia ...." Suara seorang pria berucap, bersama dengan banyak orang di sekitarnya.

Dari sekitar Lilya, beranjak banyak orang dengan jubah dan topeng yang menutupi rupa mereka. Orang di tengah mereka adalah pria berambut merah pendek, dengan tanduk kecil di kepalanya. Dua orang keluar dari kerumunan itu, mendatangi pria berambut merah itu.

"Thariq," ucap dia.

"Sire, kami tidak dapat mencari keberadaan Shax. Sepertinya, dia memilih mundur ketimbang lanjut mengambil Lilya." Thariq menundukkan kepala, menekan kacamata besar yang digunakannya.

Stellar Temporis - SarnovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang